Kamu pasti sudah lupa akanku, akan kesamaan kita, akan hubungan diantara kita. Mungkin surat ini tidak berarti apa-apa untukmu dan kamu tidak perlu bersusah payah untuk mengingat kembali tentang semuanya. Hanya, dengarkanlah aku.
Aku tidak bermaksud mengungkit kisah lama, mengikis bekas luka yang sudah memudar ataupun mengumbarkan rasa sakit yang telah selamanya pulih. Dan kenapa aku menulis surat ini kepadamu, hanya satu hal yang kuingin kamu tahu. Kamu, pernah menghancurkan harga diriku, membuatku meringkuh untuk sekedar kata atau hadirnya dan menjadi kenangan terpahit yang pernah aku nikmati. Forgiving doesn’t mean forgetting, right?
Mungkin kumulai dari awal sekali cerita kita terjadi, sehingga kamu tidak perlu menyusun kepingan-kepingan puzzle akan apa yang ku maksud diatas. Tepat 11 tahun lalu, Januari 2011, aku sudah berpisah kota denganmu. Kita tidak lagi bertemu sapa, bahkan kita masing-masing telah melupakan. Kita hanya segilintir orang-orang yang dipertemukan oleh keadaan namun tidak diperuntukkan untuk berlama-lama menginjakkan kaki di perjalanan hidup kita.
Seharusnya begitu. Setidaknya dulu aku berpikir seperti itu. Tuhan mempertemukan kita dalam acara Kemerdekaan Indonesia di negeri padang pasir itu, lalu kita hanya sekedar melempar senyum dan tidak perlu menghabiskan waktu untuk berbasa basi. Tidak perlu mengenal satu sama lain, apalagi harus berbagi cinta dengan satu pria. Tidak, kurasa tidak perlu.
Iya, seharusnya tidak perlu begitu.
Tapi Tuhan mungkin menginginkan kita berlama-lama dalam satu cerita, adegan-adegan yang sulit sekali aku lupakan, hingga aku mencari makna dalam kepingan hidupku dan aku pun belajar menikmatinya.
Kuakui aku salah dari hubunganku dengan (mantan) kekasihku itu. Kita sama-sama egois, sama-sama mencari kesenangan sendiri, ingin dimengerti, ingin diperhatikan, ingin lebih dari apa yang diberikan. Pertengkaran yang terjadi pun seputar aku dan dia yang sama-sama tidak mau mengalah, ingin di dengar, ingin di sayang. Aku pun pernah menyia-nyiakan kehadiran dan kasihnya. Entahlah. Begitu sombongnya diriku sehingga dengan mudah meluncur kata-kata pisah dengannya. Tapi kita berbaikan lagi. Berbagi kisah lagi. Lalu pisah lagi. Lalu…. kamu mungkin bisa menebaknya. Atau belum?
Di saat itulah kamu hadir.
Menambah asam garam di atas lukaku, luka yang masih berdarah. Rasanya bukan main perihnya. Aku setengah hidup, kesusahan mencari-cari udara dalam duniaku. Kamu menghilangkan hadirku dalam dirinya. Menghapus jejak-jejakku dalam ingatannya. Dan membuatku seolah-olah hanya sekedar mimpi buruk baginya.
Bagimu itu hanya 1 bulan.
Bagiku siksaan itu menghabiskan seluruh hidupku. Siksaan batin yang meraung-raung menginginkan hadirnya, mendengar suaranya, bahkan hanya sekedar hembusan napasnya. Aku seperti kehabisan obat penenang, setiap hari mencari kesediaan oksigen dari satu kabarnya.
Begitu hancurnya aku dengan istana egoku, saat itu aku tidak peduli apakah aku wanita kedua, ketiga atau bahkan hanya sekedar menemani malam sepinya. Iya, saat kau jauh dan menelponnya dari seberang kota, aku disampingnya, menemaninya tertawa denganmu. Tidak, aku tidak ikut tertawa saat itu. Saat itu semua kata yang keluar dariku hanyalah tangisan yang terisak-isak.
Sampai kamu mulai bosan dengannya. Dan melepaskannya.
Terima kasih. Saat itu aku sangat sangat membutuhkannya, hati dan raganya. Hingga sampai saat ini aku menulis untukmu, aku menikmati semua prosesnya. Pahit yang tak berujung. Luka yang membekas. Hingga tangisan yang telah kering.
Begitulah hadirmu dalam hidupku.
Terima kasih atas semuanya. Dan kumohon, jangan ada lagi kamu, atau perempuan bermata sayu sepertimu dalam hidupku.
Dari Aku,
Perempuan yang Pernah Membencimu
Ditulis oleh : @donagotwit
Diambil dari http://piethstop.wordpress.com
No comments:
Post a Comment