Adimas Arya Abdillah, sahabatku yang sedari dulu tak pernah berubah.
Surat dari kamu sudah kuterima kemarin, dan entah kenapa langsung kutulis surat balasan untukmu ini. Kamu juga jangan terlalu percaya diri kalau aku begitu berhasrat menulis surat balasan untukmu. Aku hanya mengisi waktu senggangku menulis, seperti yang sudah biasa kulakukan.
Kabar Mama dan Papa baik sekali, mereka diberi kesehatan yang berkali-kali lipat oleh Tuhan. Menjadikan aktivitas mereka yang rutin keluar kota tak ada hambatan dan selalu lancar. Kalau aku? Aku juga baik-baik saja Mas. Walaupun pernah kuceritakan kejengkelanku pada Anggara yang lagi-lagi mengulang hal yang sama. Mencoba mencari perempuan lain padahal jelas sudah hanya aku yang mampu bersamanya dalam waktu yang tak sebentar. 3 tahun, Mas. Bayangkan. Entah sudah berapa kali sebenarnya dia mencari perempuan lain selama bersamaku.
Lama-lama aku menjadi tak peduli. Kuanggap dia seekor burung. Yang kemanapun akan terbang, selalu kembali ke sarangnya. Dan akulah sarangnya. Dan jodoh tak lari kemana, bukan? Dia kuanggap jodohku, yang selalu kuyakin, maka dari itu sejauh apapun dia pergi pasti kembalinya ke aku. Lagipula setelah melakukan kesalahannya dia selalu pandai membujuk hatiku untuk memaafkannya. Kemudian dia menunjukkan perubahan sikapnya yang begitu manis padaku. Kembali lagi, begitu menyayangiku. Ya, walaupun hal itu tak bertahan lama. Paling lama seminggu. Tapi aku menyayangi dia, Mas. Bukankah rasa sayang itu segalanya? Sayang adalah pelipur lara, pemberi maaf dan bentuk keikhlasan menerima seseorang apa adanya. Begitulah adanya Anggara. Kuyakin besarnya cintanya padaku, namun saat ini mungkin belum waktunya dia berhenti bermain dengan hatinya. Toh kuyakin, dia juga tak akan bisa lama jauh-jauh dariku.
Aku keras kepala ya? Bukankah sudah sejak awal mengenalku kamu tau betul sifatku yang satu ini. Aku berkeras menginginkannya, walaupun untuk itu aku harus menunggu lebih lama dari selamanya agar ia paham akulah yang selama ini satu-satunya dicintainya. Aku tak peduli lagi, Mas.
Adimas, selamanya kamu akan tetap jadi sahabat terbaikku. Sudahlah, melupakan inginmu untuk memilikiku adalah satu-satunya jalan agar hatimu merdeka, bebas dan bahagia. Aku baik-baik saja, pasti. Diperhatikan olehmu sedemikian ini sudah lebih dari cukup untuk alasanku tetap baik-baik saja.
Aku akan tetap bersama Anggara, sampai aku sudah tak mampu lagi merasa, sampai aku sudah lupa bagaimana isak tangis itu dan sampai aku lupa rasa sakit yang mana yang mampu membuat hatiku menjerit. Aku akan tetap bersamanya.
Percayalah, keadaannya tak seburuk yang kamu pikirkan. Aku bisa tiba-tiba begitu merasa sedih dan melankolis, namun sedetik kemudian aku bisa merasa benar-benar bahagia. Dan kusyukuri semuanya, karena memang tak seharusnya berlama-lama dalam kesedihan, bukan?
Kutunggu kepulanganmu ke Yogyakarta. Mau kejemput di stasiun seperti biasa? Nanti kubawakan Cola dingin kesukaanmu. Eh, kesukaanmu belum berubah kan?
Ya sudah, begini saja suratku. Sampai bertemu kembali sahabat kesayanganku.
Sahabatmu yang selalu mengesampingkan rasa miris.
-Gendis-
Ditulis oleh : @enhanhanha
Diambil dari http://ernamardjono.tumblr.com
No comments:
Post a Comment