Hujan dan Kerinduan
"Subuh telah
mengenakan sepatunya untuk pergi.
Meninggalkanku yang
sangsi merasakan gigil di antara rindu paling sepi."
Pagi di kotaku hujan,
Fa. Gerimis berderai sejak tadi malam. Seolah tak bosan mencipta basah dan
dingin. Bagaimana dengan kotamu? Kuharap kau tidak merasakan hal yang sama.
Meringkuk di sudut kamar berteman selimut tebal. Seperti aku. Disini.
Dalam jauhnya rindu,
hujan tak lagi mesra, Fa. Momen yang biasanya menjadi latar yang syahdu kini
menjelma sendu. Tak ada hangat keceriaan, sebab canda kita tak lagi ada. Pun
ketika kucoba menghangatkan paras dengan segelas kopi panas yang terasa
hanyalah ampas. Ah, aku rindu racikan kopimu yang pas. Tak begitu manis, juga
tak begitu pahit. Khas!
Bicara hujan, aku jadi
teringat sebuah kisah lama. Kisah kerinduan antara langit dan bumi. Kau ingin
tahu bagaimana kisahnya, Fa? Pada mulanya adalah langit yang begitu meridukan
bumi. Kekaguman langit tandas hanya untuk pesonanya. Setiap hari, langit
mencuri pandangi bumi yang hijau dan asri. Ia pendam rindu sendirian. Tak
sekalipun langit berani mengutarakan. Sebab ia terlampau malu untuk sekedar
sapa dan bertatap muka. Hingga suatu hari, rindu begitu berkecamuk di dadanya.
Bergetar langit oleh keresahan yang membuncah. Ia paksakan keberaniannya untuk
menang. Langit menemui bumi untuk mengungkapkan keinginannya untuk merajut hari
bersama. Bumi menolak. Bumi tak ingin menghabiskan hari bersama langit yang
menjulang jauh dari hadapnya. Langit terpuruk dalam pilunya kerinduan. Ia
menangis sejadinya-jadinya. Bersedih merasakan getirnya pengabaian. Kelak,
manusia menyebutnya sebagai hujan. Tanpa mengetahui bahwa itu adalah tangis
kerinduan langit yang terabaikan.
Aku tak ingin menjadi
langit yang diabaikan rindunya, Fa. Biarlah itu menjadi kisah yang hanya kita
petik pelajaran di sebaliknya. Bahwa jarak rindu dan benci hanya bersekat
setipis tangis dan air mata. Maka, biarkan saja rindu kita merintih sejenak.
Hingga datang perjumpaan yang merajai hari, kelak.
Peluk hangat.
Dari aku yang rindu
kamu.
Oleh: @Mas_Aih untuk
@NengWafa
Diambil dari:
http://mas-aih.blogspot.com/
---
Garis Kesetiaan
Di setiap pagi, kutunggu
pak pos mengetuk pintu mengantarkan surat darimu. Tapi tak ada.
Siang, kala sang surya
menampakkan cahayanya dengan gagah tak lantas menyurutkan semangatku untuk
menanti suratmu. Tapi tak ada juga.
Oh tenang. Ada gelap
malam yang mungkin akan menghantarkan ceritamu lewat selembar surat. Tetap tak
ada.
4 hari kulalui dengan
penuh bimbang. Bertanya-tanya akan kabarmu, menanti ceritamu, berharap kebaikan
dan kebahagiaan memelukmu erat. Lalu nyaman dalam pelukanmu seolah tak mau
pergi. Seperti halnya aku. Yang rindu akan nyamannya berada di pelukmu.
Langit pagiku disini
cerah, mas. Tak seperti halnya suasana mendung yang melingkupi hati dan
perasaan ini. Sebenarnya aku tak mau menceritakan hal ini. Tapi komunikasi yang
mencipta kepercayaan. Kepercayaan yang mencipta kesetiaan. Lalu kesetiaan yang
mencipta kebahagiaan. Itu katamu.
Saat tiba selembar
ceritamu di kotak surat rumahku. Bukan senyum lagi yang menghiasi parasku.
Bukan buncah bahagia yang menyesaki dada. Melainkan isak tangis di kedua
mataku. Ada rasa bernama duka menyesaki dada. Kamu tau karena apa, mas? Ya
tentu, bukan karena kata manis yang kau buat. Bukan karena bahasa cintamu. Juga
bukan karena kabar rindumu. Melainkan karena aku dan perjodohan itu.
Entah harus berapa kali
kutegaskan pada ayah dan ibu. Agar mengerti rasaku yeng tercipta alami begitu
saja untukmu. Untuk orang yang kusayangi. Aku menangis tersedu saat ada lelaki
datang ke rumahku 2 hari yang lalu. Meminta kesiapanku. Ibu mulai mengerti akan
keriasauan hatiku, sehingga menyuruh lelaki itu untuk memberi waktu padaku.
Pada jawaban yang tak akan pernah aku jawab ‘IYA’. Karena sejatinya telah aku
persiapkan jawaban itu hanya untukmu. Satu nama. @Mas_Aih.
Taukah kamu? Tetes air
mata itu masih tercipta sampai detik kumenulis surat ini. 5 hari lagi lelaki
itu akan kembali datang untuk menagih jawabanku. Beritahu aku mas, apa yang
harus aku katakan. Bukan kepada lelaki itu, tapi kepada ayah dan ibu yang
terlanjur malu karena terlalu sering menolak pinangan, padahal ayahlah yang
meminta lelaki-lelaki itu datang ke rumah. Iya, mungkin ayah melakukan ini
karena terlalu sayang pada aku, anak perempuan satu-satunya. Tapi sungguh aku
tak nyaman dengan kondisi seperti ini.
Ingin rasanya aku
berlari mencarimu, tapi aku seolah kehilangan arah. Desakan dari berbagai arah
tiba-tiba datang dan menuntutku banyak hal. Aku ingin berteriak di pelukmu.
Menangis sejadi-jadinya. Dan memintamu untuk membawaku berlari. Lari meski
untuk satu hari. Demi mencipta damai dan tenang dalam pikirku. Agar aku tak
salah melangkah. Agar aku tetap berada di garis kesetiaan. Garis yag selama ini
kita perjuangkan demi satu tujuan. Kebahagiaan.
Maaf, mas. Jika surat
ini malah membebanimu. Malah membuatmu khawatir dan mungkin sedih. Ah pikiranku
sudah mulai kacau. Mungkinkah kamu merasakan kesedihan? Atau...... ah sudahlah
jadi banyak prasangka menghantui ketakutanku.
Terimakasih mas untuk
sempat membaca ceritaku. Semoga kau baik. Bahagia. Kutunggu surat kilatmu.
Tertanda aku. Masih
menunggu dengan setia.
Surat balasan untuk
@NengWafa dari @Mas_Aih
Diambil dari:
http://wafakamilah.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment