22 January 2013

Surat #DuaHati @Mas_Aih dan @NengWafa


Hujan dan Kerinduan

"Subuh telah mengenakan sepatunya untuk pergi.
Meninggalkanku yang sangsi merasakan gigil di antara rindu paling sepi."

Pagi di kotaku hujan, Fa. Gerimis berderai sejak tadi malam. Seolah tak bosan mencipta basah dan dingin. Bagaimana dengan kotamu? Kuharap kau tidak merasakan hal yang sama. Meringkuk di sudut kamar berteman selimut tebal. Seperti aku. Disini.


Dalam jauhnya rindu, hujan tak lagi mesra, Fa. Momen yang biasanya menjadi latar yang syahdu kini menjelma sendu. Tak ada hangat keceriaan, sebab canda kita tak lagi ada. Pun ketika kucoba menghangatkan paras dengan segelas kopi panas yang terasa hanyalah ampas. Ah, aku rindu racikan kopimu yang pas. Tak begitu manis, juga tak begitu pahit. Khas!


Bicara hujan, aku jadi teringat sebuah kisah lama. Kisah kerinduan antara langit dan bumi. Kau ingin tahu bagaimana kisahnya, Fa? Pada mulanya adalah langit yang begitu meridukan bumi. Kekaguman langit tandas hanya untuk pesonanya. Setiap hari, langit mencuri pandangi bumi yang hijau dan asri. Ia pendam rindu sendirian. Tak sekalipun langit berani mengutarakan. Sebab ia terlampau malu untuk sekedar sapa dan bertatap muka. Hingga suatu hari, rindu begitu berkecamuk di dadanya. Bergetar langit oleh keresahan yang membuncah. Ia paksakan keberaniannya untuk menang. Langit menemui bumi untuk mengungkapkan keinginannya untuk merajut hari bersama. Bumi menolak. Bumi tak ingin menghabiskan hari bersama langit yang menjulang jauh dari hadapnya. Langit terpuruk dalam pilunya kerinduan. Ia menangis sejadinya-jadinya. Bersedih merasakan getirnya pengabaian. Kelak, manusia menyebutnya sebagai hujan. Tanpa mengetahui bahwa itu adalah tangis kerinduan langit yang terabaikan.



Aku tak ingin menjadi langit yang diabaikan rindunya, Fa. Biarlah itu menjadi kisah yang hanya kita petik pelajaran di sebaliknya. Bahwa jarak rindu dan benci hanya bersekat setipis tangis dan air mata. Maka, biarkan saja rindu kita merintih sejenak. Hingga datang perjumpaan yang merajai hari, kelak.



Peluk hangat.
Dari aku yang rindu kamu.


Oleh: @Mas_Aih untuk @NengWafa
Diambil dari: http://mas-aih.blogspot.com/


---



Garis Kesetiaan


Di setiap pagi, kutunggu pak pos mengetuk pintu mengantarkan surat darimu. Tapi tak ada.
Siang, kala sang surya menampakkan cahayanya dengan gagah tak lantas menyurutkan semangatku untuk menanti suratmu. Tapi tak ada juga.
Oh tenang. Ada gelap malam yang mungkin akan menghantarkan ceritamu lewat selembar surat. Tetap tak ada.

4 hari kulalui dengan penuh bimbang. Bertanya-tanya akan kabarmu, menanti ceritamu, berharap kebaikan dan kebahagiaan memelukmu erat. Lalu nyaman dalam pelukanmu seolah tak mau pergi. Seperti halnya aku. Yang rindu akan nyamannya berada di pelukmu.

Langit pagiku disini cerah, mas. Tak seperti halnya suasana mendung yang melingkupi hati dan perasaan ini. Sebenarnya aku tak mau menceritakan hal ini. Tapi komunikasi yang mencipta kepercayaan. Kepercayaan yang mencipta kesetiaan. Lalu kesetiaan yang mencipta kebahagiaan. Itu katamu.

Saat tiba selembar ceritamu di kotak surat rumahku. Bukan senyum lagi yang menghiasi parasku. Bukan buncah bahagia yang menyesaki dada. Melainkan isak tangis di kedua mataku. Ada rasa bernama duka menyesaki dada. Kamu tau karena apa, mas? Ya tentu, bukan karena kata manis yang kau buat. Bukan karena bahasa cintamu. Juga bukan karena kabar rindumu. Melainkan karena aku dan perjodohan itu.

Entah harus berapa kali kutegaskan pada ayah dan ibu. Agar mengerti rasaku yeng tercipta alami begitu saja untukmu. Untuk orang yang kusayangi. Aku menangis tersedu saat ada lelaki datang ke rumahku 2 hari yang lalu. Meminta kesiapanku. Ibu mulai mengerti akan keriasauan hatiku, sehingga menyuruh lelaki itu untuk memberi waktu padaku. Pada jawaban yang tak akan pernah aku jawab ‘IYA’. Karena sejatinya telah aku persiapkan jawaban itu hanya untukmu. Satu nama. @Mas_Aih.

Taukah kamu? Tetes air mata itu masih tercipta sampai detik kumenulis surat ini. 5 hari lagi lelaki itu akan kembali datang untuk menagih jawabanku. Beritahu aku mas, apa yang harus aku katakan. Bukan kepada lelaki itu, tapi kepada ayah dan ibu yang terlanjur malu karena terlalu sering menolak pinangan, padahal ayahlah yang meminta lelaki-lelaki itu datang ke rumah. Iya, mungkin ayah melakukan ini karena terlalu sayang pada aku, anak perempuan satu-satunya. Tapi sungguh aku tak nyaman dengan kondisi seperti ini.

Ingin rasanya aku berlari mencarimu, tapi aku seolah kehilangan arah. Desakan dari berbagai arah tiba-tiba datang dan menuntutku banyak hal. Aku ingin berteriak di pelukmu. Menangis sejadi-jadinya. Dan memintamu untuk membawaku berlari. Lari meski untuk satu hari. Demi mencipta damai dan tenang dalam pikirku. Agar aku tak salah melangkah. Agar aku tetap berada di garis kesetiaan. Garis yag selama ini kita perjuangkan demi satu tujuan. Kebahagiaan.

Maaf, mas. Jika surat ini malah membebanimu. Malah membuatmu khawatir dan mungkin sedih. Ah pikiranku sudah mulai kacau. Mungkinkah kamu merasakan kesedihan? Atau...... ah sudahlah jadi banyak prasangka menghantui ketakutanku.

Terimakasih mas untuk sempat membaca ceritaku. Semoga kau baik. Bahagia. Kutunggu surat kilatmu.
Tertanda aku. Masih menunggu dengan setia.


Surat balasan untuk @NengWafa dari @Mas_Aih
Diambil dari: http://wafakamilah.blogspot.com/


No comments:

Post a Comment