22 January 2013

Diam

Kamu yang pernah aku cintai,
Apa kabar? Sedikit kudengar kau sudah lulus dan resmi menjadi arsitek. Selamatku untukmu. Omong-omong, aku membaca e-mailmu yang terakhir. Aku mencerna kata per kata. Aku meresap semua rasa yang kau kirimkan melalui jajaran aksara. Aku mencecap tiap untai baris sampai titik terakhir di kalimatmu. Setelah itu, aku menelaah perasaanku; apakah ia tertawan akan untaian puja pujimu? Rupanya tidak, maaf.

Kamu yang hatinya pernah kuharapkan,
Pernah aku mencintaimu lebih dari apapun. Pernah aku rela melakukan segalanya untuk mendapatkan sepotong hatimu. Namun saat itu kau bahkan tidak melayangkan pandanganmu padaku. Melirik pun tidak. Kurang keras apa aku memanggil perhatianmu? Kurang lantang apa aku meneriakkan cinta? Harus semembahana apa lagi aku menyeru? Oh, kamu tahu sekali aku mengemis-ngemis untuk cintamu. Apa responmu akan pesan-pesan singkatku yang kukirim ke telepon genggammu? Diam. Apa responmu akan pesan-pesan panjang yang kutulis di facebook mu? Diam. Apa responmu akan tweet-tweet putus asa yang berulang kali kutujukan untukmu? Diam.

Kamu yang dulu kupuja,
Salah mereka yang bilang cinta itu gila. Bukan cinta yang gila, si pecinta lah yang hilang akal. Akalnya hilang dibawa pergi sang nafsu. Nafsu ingin memiliki. Kadang orang begitu terbutakan untuk mendapatkan apa yang dibisikkan hatinya untuk dimiliki. Beribu untung, tidak semua akalku dibawa pergi nafsu. Tersisa secuil pikiran sehat yang kerap merawat harga diriku yang rusak parah. Hancur. Hingga akhirnya harga diriku kembali. Ia melarangku habis-habisan untuk mengemis sepotong cinta dari dia yang bahkan tidak pernah menggubrisku. Aku kehilangan semua rasa yang pernah kutujukan padamu. Aku sadar, selama ini aku menggonggongi pohon yang salah.

Kamu yang dulu selalu kusapa,
Aku tidak tau apakah ini lelucon takdir atau memang hukum alam. Namun aku tidak begitu percaya apabila takdir memainkan lelucon keji seperti ini. Aku cenderung percaya bahwa inilah yang terjadi ketika semesta berbicara. Pernah sedikit membaca tentang law of detachment? Apa yang kau lepaskan akan menjadi milikmu. Milikilah keinginan dan lepaskan ke semesta. Semesta akan berkonspirasi untuk membuatmu bahagia seperti yang kau pinta. Ini hukum mutlak yang dibuat Sang Maha Adil. Aku? Aku dahulu berkeinginan memilikimu, dan aku tidak melepaskan keinginanku pada semesta. Aku genggam erat setiap serpih serat inginku. Bagaimana semesta bisa bekerja bila aku mengerami hasratku? Tidak. Rupanya ketika harga diriku berhasil dipulihkan, aku tidak mau tahu lagi apapun tentangmu. Aku hilangkan semua hasrat tentangmu. Dan itulah, tanpa kusadari, saat akhirnya aku melepaskan keinginanku pada semesta. Selanjutnya yang terjadi, semesta memberikan tepat seperti yang kupinta dulu; hati dan cintamu.

Kamu yang pernah menghatui mimpi malamku,
Terlambat, kan? Ketika hatiku sudah tidak lagi mengharapkanmu, kau datang. Ketika pintu hatiku sudah menutup untukmu, kau mengetuk. Apabila konsep cara kerja semesta terlalu rumit untukmu, baiklah, mungkin ini penjelasan yang lebih sederhana; manusia senang dipuja. Siapa yang tidak senang egonya dimanja? Ia bebas merespon sekehendak hatinya. Namun ketika si pemuja berhenti mencintanya, ia akan terluka. Kamu mungkin tidak sadar, tetapi jauh di dasar pikiranmu mungkin kau merindu sapaan hangat tak berbalas ku padamu setiap hari. Keadaan berbalik. Kau melakukan apa yang persis sama kulakukan padamu dulu.

Kamu yang kini mengharap cintaku,
Maaf, aku tidak bisa lagi memuja dan mencintaimu seperti dulu. Tak peduli fakta bahwa kau kini datang membawa seluruh hatimu, bukan hanya sepotong seperti yang dulu pernah kuharapkan. Mataku, bukan sekadar mata fisik, namun mata yang sebenar-benarnya mata, telah membuka. Bahwa untuk dicintai, tidak perlu mengorbankan harga diri.
Salahkah aku bila sekarang aku….
Diam?



Tertanda,
Aku yang baru


Oleh @sneaking_jeans
Diambil dari http://menyingsingfajar.wordpress.com

No comments:

Post a Comment