Kamu yang pernah aku cintai,
Apa kabar? Sedikit kudengar kau sudah lulus dan resmi menjadi
arsitek. Selamatku untukmu. Omong-omong, aku membaca e-mailmu yang
terakhir. Aku mencerna kata per kata. Aku meresap semua rasa yang kau
kirimkan melalui jajaran aksara. Aku mencecap tiap untai baris sampai
titik terakhir di kalimatmu. Setelah itu, aku menelaah perasaanku;
apakah ia tertawan akan untaian puja pujimu? Rupanya tidak, maaf.
Kamu yang hatinya pernah kuharapkan,
Pernah aku mencintaimu lebih dari apapun. Pernah aku rela melakukan
segalanya untuk mendapatkan sepotong hatimu. Namun saat itu kau bahkan
tidak melayangkan pandanganmu padaku. Melirik pun tidak. Kurang keras
apa aku memanggil perhatianmu? Kurang lantang apa aku meneriakkan cinta?
Harus semembahana apa lagi aku menyeru? Oh, kamu tahu sekali aku
mengemis-ngemis untuk cintamu. Apa responmu akan pesan-pesan singkatku
yang kukirim ke telepon genggammu? Diam. Apa responmu akan pesan-pesan
panjang yang kutulis di facebook mu? Diam. Apa responmu akan tweet-tweet
putus asa yang berulang kali kutujukan untukmu? Diam.
Kamu yang dulu kupuja,
Salah mereka yang bilang cinta itu gila. Bukan cinta yang gila, si
pecinta lah yang hilang akal. Akalnya hilang dibawa pergi sang nafsu.
Nafsu ingin memiliki. Kadang orang begitu terbutakan untuk mendapatkan
apa yang dibisikkan hatinya untuk dimiliki. Beribu untung, tidak semua
akalku dibawa pergi nafsu. Tersisa secuil pikiran sehat yang kerap
merawat harga diriku yang rusak parah. Hancur. Hingga akhirnya harga
diriku kembali. Ia melarangku habis-habisan untuk mengemis sepotong
cinta dari dia yang bahkan tidak pernah menggubrisku. Aku kehilangan
semua rasa yang pernah kutujukan padamu. Aku sadar, selama ini aku
menggonggongi pohon yang salah.
Kamu yang dulu selalu kusapa,
Aku tidak tau apakah ini lelucon takdir atau memang hukum alam. Namun
aku tidak begitu percaya apabila takdir memainkan lelucon keji seperti
ini. Aku cenderung percaya bahwa inilah yang terjadi ketika semesta
berbicara. Pernah sedikit membaca tentang law of detachment? Apa yang
kau lepaskan akan menjadi milikmu. Milikilah keinginan dan lepaskan ke
semesta. Semesta akan berkonspirasi untuk membuatmu bahagia seperti yang
kau pinta. Ini hukum mutlak yang dibuat Sang Maha Adil. Aku? Aku dahulu
berkeinginan memilikimu, dan aku tidak melepaskan keinginanku pada
semesta. Aku genggam erat setiap serpih serat inginku. Bagaimana semesta
bisa bekerja bila aku mengerami hasratku? Tidak. Rupanya ketika harga
diriku berhasil dipulihkan, aku tidak mau tahu lagi apapun tentangmu.
Aku hilangkan semua hasrat tentangmu. Dan itulah, tanpa kusadari, saat
akhirnya aku melepaskan keinginanku pada semesta. Selanjutnya yang
terjadi, semesta memberikan tepat seperti yang kupinta dulu; hati dan
cintamu.
Kamu yang pernah menghatui mimpi malamku,
Terlambat, kan? Ketika hatiku sudah tidak lagi mengharapkanmu, kau
datang. Ketika pintu hatiku sudah menutup untukmu, kau mengetuk. Apabila
konsep cara kerja semesta terlalu rumit untukmu, baiklah, mungkin ini
penjelasan yang lebih sederhana; manusia senang dipuja. Siapa yang tidak
senang egonya dimanja? Ia bebas merespon sekehendak hatinya. Namun
ketika si pemuja berhenti mencintanya, ia akan terluka. Kamu mungkin
tidak sadar, tetapi jauh di dasar pikiranmu mungkin kau merindu sapaan
hangat tak berbalas ku padamu setiap hari. Keadaan berbalik. Kau
melakukan apa yang persis sama kulakukan padamu dulu.
Kamu yang kini mengharap cintaku,
Maaf, aku tidak bisa lagi memuja dan mencintaimu seperti dulu. Tak
peduli fakta bahwa kau kini datang membawa seluruh hatimu, bukan hanya
sepotong seperti yang dulu pernah kuharapkan. Mataku, bukan sekadar mata
fisik, namun mata yang sebenar-benarnya mata, telah membuka. Bahwa
untuk dicintai, tidak perlu mengorbankan harga diri.
Salahkah aku bila sekarang aku….
Diam?
Tertanda,
Aku yang baru
Oleh @sneaking_jeans
Diambil dari http://menyingsingfajar.wordpress.com
No comments:
Post a Comment