Aku akan membuat surat yang panjang sekali... sayangnya aku percaya kau akan baca, seperti biasa.
Pertama aku ingin marah, kepada anak cowok yang tak pernah melihat wajahmu langsung, mendengar suaramu, tawamu, curhatanmu, tapi seakan ia lebih menyayangimu dari pada aku yang hampir setiap hari di sampingmu.
Maaf, kali terakhir aku menyebutkan namamu pada jejaring sosial adalah tepat di hari kepergianmu selamanya. Sisanya tak pernah, meski aku menceritakan tentang kita entah berapa kali dalam catatan atau status atau apapunlah. Sengaja, aku tak mau jadi lebih gila dari ini. (Aku tahu password facebookmu. Jadi apa kau tahu betapa menyakitkan membuka facebookmu dan menemukan namaku sendiri dalam pemberitahuan di akunmu itu? Aku seakan bicara sendiri, seperti kurang waras dan di hantam kesepian yang datang dari segala arah). Sedangkan cowok menyebalkan itu dengan enaknya meng-tag namamu berkali-kali, dalam puisi, kata indah, ketika ulang tahunmu atau apapun itu.
Aku menahan rinduku setengah mati. Biar tak meledak, biar tak mendapat tatapan sedih dari orang di sampingku, apa lagi harus mendengar ceramah bahwa aku harus merelakan kenyataan bahwa kau sudah pergi. Aku sedih dan rindu bukan berarti tak menerima kenyataan.
Tentang anak pertamaku—lukisan pertamaku yang selesai di atas kanvas, awalnya aku hanya ingin melukisnya di atas kertas. Tapi aku sendiri yang rada antusias dan agaknya memberikan pilihan kepada si pemesan untuk memilih kertas atau kanvas, dan kau tahulah jawabannya.
Kenapa aku rada antusias? Karena itu senja, karena itu maple, karena itu orens. Yang sialnya, aku baru tahu kau suka dengan warna ini setelah kematianmu dan dari cowok menyebalkan itu pula. (Aku memang sengaja tak pernah menanyakan warna kesukaanmu, berharap kau sendiri yang akan beri tahu, sayangnya tidak). Sebodo apa nama judul puisi yang ia buat dan kemudian ia patenkan menjadi judul lukisanku juga – iya, iya, lukisanku adalah saduran dari puisinya. Tapi seperti ia, puisinya adalah hatinya, maka lukisanku adalah hatiku.
Jadi lukisan itu untuk...kalian berdua.
(Aku benci mengakui ini. -Oh, tapi tentang lukisanku, ‘hati lukisan’ku lebih rumit dari ini, kapan-kapan aku akan cerita).
Ingatkah kau pernah agak histeris dan bertanya, ‘benar enggak tahu maple?’, dengan polos aku menjawab jujur, enggak. Kemudian kau menjelaskan maple adalah salah satu pohon terindah, serwarna semburat merah-kuning di tiap daunnya ketika musim gugur, ada di salah satu sampul komik yang judulnya aku sensor di sini, dan blabla lain.
Kemudian kau memintaku untuk melukisakan maple dan senja itu untukmu, dengan rincian seperti ini dan ini, yang sampai sekarang aku masih ingat detailnya. Sayang, aku yang kejam ini mengiyakanya pun tidak. Tapi itu karena aku tak bisa berjanji, aku suka malas dengan pesanan orang. Andai kau bisa lihat hatiku waktu itu, kau akan tahu sebenarnya aku ingin membuatkannya untukmu, dengan tenggat waktu yang tak di tentukan.
Aku ingin melukis untukmu, dan kau di sampingku...
Dulu kau pernah bertanya padaku, nadamu datar, walau di mulut orang lain, tanya itu bisa jadi keluhan. ‘kenapa? Aku hanya sempat berpikir, kenapalah hal ini harus mengenaiku?’ Penyakitmu yang makin parah, dan sepertinya kau sudah mulai lelah. Aku hanya bisa diam, menggigit bibir. Alih-alih menjawab dengan ceramah atau kalimat klise menguatkan, aku hanya bisa berharap kebaikan..
Mungkin tak sampai dua minggu yang lalu, aku membaca novel, memaksa diri, bukan karena novelnya membosankan, tapi karena aku ingin menulis, mencoba mempelajari tulisan. Aku ingat, dulu aku menulis dengan lancar, ide cerita bertebaran kemana-mana, itu karena kau ada di sampingku, membaca apa yang aku ketik. Melihat wajahmu yang sedang membaca karyaku, berubah-ubah menjadi serius, tiba-tiba tertawa kecil lalu santai, adalah lebih menyenangkan dari pujian apapun. Setelah kau pergi, aku tak bisa menulis lagi dengan hati. Konyol, aku tahu.
Tak sampai lima menit aku membaca novel itu, aku merebahkan tubuhku di atas kasur, memeluk novel tebal itu dengan air mata yang bercucuran seenaknya. Bahkan sudah lewat dua setengah tahun kepergianmu, aku masih rindu. Aku sangat rindu...
Ada yang bilang, “bukan karena ribuan pembaca maka aku menulis, tapi aku menulis karena aku tahu ada ‘seseorang’ yang membaca”. Seseorang dalam tulisanku dulu, itu kau. Ketika kau pergi, aku bahkan tak bisa ingat ide ceritaku sendiri meski kalimat poinnya sudah tertuang dalam kertas. Biarlah tulisan itu mati bersamamu, aku tak (bisa) memaksa. Setelah kematianmu, tulisanku tak jelas untuk siapa, tanpa sadar aku tak percaya bahwa masih ada yang akan membaca, tapi yah...aku harus tetap berjalan bukan? (eng..aku akan coba percaya, meski masih belum bulat benar, jadi pengen nge #nomention adek satu ini, syukron dek udah sering komen di blog uni. #eh #tapiserius)
Banyak penjelasan lain, dan berhubungan dengan orang lain, tak bisa aku ceritakan, tapi semua rangkaian itu akhirnya menjadikan aku bertanya –ah, kali ini aku yang bertanya, kenapa harus kau? Lihatlah kami –bukan hanya aku, sangat kehilanganmu. Sama sepertimu, bukan mengeluh, hanya bertanya.
*Ingin rasanya aku masukkan ke facebook, men-tag namamu, biar lapang hatiku. Tapi tidak. Atau aku bisa lebih gila dari ini.
#untuk seorang sahabat yang aku harap bisa bertemu di surga
Ditulis oleh : @dilaputiLg
Diambil dari http://hayyushi.blogspot.com
No comments:
Post a Comment