Dear pengetuk pintu kamarku,
Aku... pertama kalinya mengirimkan surat kepada ‘sesuatu’ yang bahkan tak bisa kulihat jadi... haruskah aku ucapkan salam?
Oke, aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kukatakan. Jadi... begini. Aku tidak tahu apa yang menarik dari rumahku, aku tidak tahu apa menariknya kamarku, aku juga tidak tahu apa menariknya aku untukmu. Aku benar-benar ingin tahu sebenarnya apa yang kamu inginkan? Kenapa harus kamarku? Emm... bukannya bermaksud tidak sopan tapi... kamu tahu semua orang butuh istirahat dan ketukanmu pada kamarku itu benar-benar membuat tidurku kurang nyaman.
Mungkinkah kamu butuh teman? Kalau butuh aku akan menemanimu... di mimpi. Ya, di mimpi saja kita berkenalan. Masuklah ke syarafku atau apalah, lalu kita berkenalan. Dengan cara baik-baik tentunya. Akan lebih baik kalau aku sadar wujudmu itu tidak nyata, ketimbang aku ‘melihat’mu. Aku tidak setegar itu. Imanku tidak setegar itu.
Dan... jujur ya. Aku percaya Tuhan, aku punya agama, tapi bukan berarti aku mempercayai ‘wujudmu’ begitu saja. Asal kau tahu saja aku selalu mencari alasan logis apa yang menyebabkan ketukan di kamarku—dan aku belum menemukannya sampai sekarang! Tapi itu bukan berarti aku langsung men-judge dirimu dengan apapun-yang-mereka-katakan makhluk halus. Aku akan mencari alasannya.
*dalam hati berdoa kalau itu bukan makhluk halus*
Tetapi apapun—atau siapapun, apalah terserah—kamu, aku akan menerimanya selama tidak membahayakanku juga. Aku tahu kamu ‘makhluk’ baik. Sampai sekarang kamu belum menindihku sampai mati, jadi kamu pasti baik. Nah, karena kamu baik, aku rasa kita akan berteman dengan menyenangkan. Dan pertemanan itu akan terjalin kalau kita saling menyamankan diri.
Kenapa kata-kataku makin berbelit-belit sih?
Intinya... salam kenal. Aku tidak akan mengganggumu, jadi aku mohon dengan amat sangat kamu juga tidak melakukan apapun yang bisa disebut mengganggu. Mungkin begini; kalau kamu ingin mengetuk pintu kamarku, bisakah menunggu sampai aku tertidur sangat pulas sehingga tidak akan mendengarnya?
Aku juga tidak bisa menerka-nerka lagi sih apa yang menyebabkanmu suka mengetuk pintu kamar. Tapi kamu tahu? Saat kamu mengentuk pintu kamar, imajinasiku mendadak liar; apakah setelah ini gulingku akan berubah menjadi pocong? Apakah setelah ini selimutku akan berubah menjadi rambut kuntilanak?
Kamu tidak mau kan aku suudzon kepadamu? Well, siapa tahu sebenarnya kamu vampir sekelas Cullen, atau penguasa maut sekelas John Hayden, atau pokoknya makhluk lain yang tampan-tampan?
Amin. Amin. Amin.
Jadi... tunjukkan saja. Tapi di mimpi. Di mimpi, please. Aku ini super penakut. Menginjak gerombolan semut yang lewat saja aku takut. Jadi aku harap kamu mau menemuiku di mimpi. Aku bisa menerima wujud apapun kok di mimpi. Mimpi saja ya? Kumohon.
Sekian surat protes cinta dariku. Aku harap kamu mau membaca—meskipun aku tidak tahu kamu punya koneksi internet atau tidak. Terimakasih. Sekali lagi, terimakasih.
Salam cinta,
Emm... haruskah aku sebut namaku?
oleh @tullatul
diambil dari http://gulajawadua.blogspot.com
No comments:
Post a Comment