25 January 2013

Kepadanya yang Ingin Kupanggil Lagi, Papa.

Apa kabar Pa? Ah lama sekali sepertinya aku tidak memanggilmu dengan panggilan itu.

Pa, apa Papa ingat? Saat papa tergesa pulang dari tempat Papa bekerja karena mendengar kabar dari tetangga aku demam tinggi, panas yang mengungkung tubuhku belum juga turun dari kemarin. Kau menimangku dalam dekapmu. Kau senandungkan lagu untukku, yang terus mengigau memanggilmu. Sebenarnya aku bahkan sama sekali tak ingat cerita itu, aku hanya mendengarnya dari Mama, yang juga mengingatnya samar, kata Mama, umurku belum lagi genap lima saat itu. Pa, meski begitu, itu adalah kenangan terindah yang aku miliki tentangmu. Dan aku mengingatnya, seolah itu adalah ingatanku sendiri.

Aku mulai membiasakan diri memanggilmu Ayah, seperti kakak-kakak tiriku memanggilmu, mungkin itu yang seringkali aku rasa, aku bukan anak kandungmu.
 

Sejak saat itu, dimana aku terbangun, dengan badanmu menindihku, kau memainkan…. ah sakit sekali Pa, tiap kali aku membayangkannya. Meski saat itu aku tak paham sama sekali apa yang terjadi. Aku baru lulus dari sekolah dasar kala itu.

Selang beberapa waktu, kata-kata itu mengalir dari mulutmu.
“Mau jadi lon**, kamu?!” Hardikmu sambil mendaratkan tamparan di pipiku. Aku masih dalam balutan seragam putih abu saat itu, Papa marah, karena aku pulang terlambat setelah menghadiri ulang tahun sahabatku.
Apa aku anak kandungmu Pa? Sampai doa kejam itu terucap dari dirimu? Itu seolah menjadi kutukan panjang dalam hidupku.

Pa, usiaku kini menginjak 27 tahun, sudah terlalu tua ya Pa, sudah seharusnya seorang laki-laki menghadap kepadamu, memintaku pada dirimu, kemudian menerima ijab darimu atas diriku. Tapi, hingga saat ini, aku masih sendiri Pa, bukan, bukan karena tak ada lelaki yang mendekatiku, bukan juga karena aku terlalu memilih seperti apa calon pendampingku. Aku hanya takut Pa, aku takut lelaki itu nanti akan menjadi sepertimu, dan lelaki itu akan mendidik anak kami seperti kau mendidikku dulu.

Pa, terakhir kali kita bertemu sudah bertahun-tahun lalu, saat kau tiba-tiba muncul di hari raya. Jujur saja, saat itu tubuhku gemetar, kata-katamu usai pengadilan memutus cerai hubunganmu dengan mama beberapa waktu sebelumnya, masih menerorku. “Lihat saja, hidupmu tidak akan selamat” kau mengancamku, sambil ngengacungkan kepalan. Aku pasrah, kalau saat itu kau menghantamku. Ya memang aku yang meminta pada Mama untuk berpisah denganmu. Semua itu karena aku terlalu sakit untuk setiap hari harus melihat kau menyiksa Mama lahir dan bathinnya.
 

Aku masih ketakutan Pa, mungkin masih ada sedikit marah juga terselip di sana. Meski di hari itu juga, aku telah memaafkanmu.

Kau tahu Pa, jauh di lubuk hatiku, aku merindukan Papa, merindukan dekap hangat Papa, bukan Ayah, yang tiap kali di rumah, kita seolah bermain petak umpet, karena kau maupun aku enggan saling menyapa. Aku rindu Papa, yang mungkin tak pernah mengajariku ini itu, tapi membuatku belajar untuk tidak menjadi seperti Papa.

Pa, apa kau pernah merindukanku? Apa kau pernah bersyukur Tuhan mengirimku menjadi penerus terakhirmu? Karena menurut cerita Mama, kau berkali-kali mencoba menggugurkan kandungannya saat aku masih dalam perut Mama.
Pa, aku ingin bilang, aku sayang Papa, dan sekali saja aku ingin mendengarnya darimu “Papa juga sayang kamu nak” .

Dari aku, yang di dalam darahnya mengalir juga darahmu, anak yang tak pernah kau harapkan adanya.


oleh @si_kura
diambil dari http://lycheeicedtea.tumblr.com

No comments:

Post a Comment