Senja hari ini membasuh jauh. Padahal kita tak lagi dipeluk pantai yang berbeda.
Bila ternyata hari ini purnama, ombak datang dan buihnya menjilat
jilat – yang akan kita dengar adalah sama. Langkah lari kaki kaki
telanjang. Yang lebih tenang datangnya dari kamu. Yang lebih panik
datangnya dari aku. Aku selalu ingat kata kata ibuku: pernah ada yang
terseret digulung ombak sewaktu sedang mengadu kasih di hadapan senja,
ia hilang dan selamanya tak pernah menemukan cinta sejati.
Aku bergidik ngeri. Itulah sebabnya aku lebih memilih menonton senja
dari balkon kamar sendiri. Dan semua berubah tepat ketika kamu datang
dan mengajakku turun. Lalu hari hari kita setelahnya dihabiskan dengan
menepuk punggung air sampai hanya tersisa dua nelayan yang belum
berlayar. Kita melewati banyak wajah pantai dan juga senja, berharap ini
tak harus berakhir tiba tiba. Katamu sambil tertawa, senja dan pantai
juga tak akan bisa cemburu.
Andai waktu bisa diputar balik, aku mustinya lebih memilih untuk
tidak percaya. Mereka mungkin tak bisa cemburu, tapi apa? Mereka banyak
memperdaya. Mereka bisa.
Senja hari ini membasuh kita terlalu jauh. Padahal kita tak lagi
dipeluk pantai yang berbeda. Aku justru tak bisa melihatmu, padahal
telak kita sudah sedekat ini – sedekat hari pertama kita ke sini. Sinar
senja menghampar kemana mana, menyilaukan mengaburkan pandangan. Ombak
datang bergulung gulung, menelan segala akal yang kita punya untuk
saling menemukan. Ia tidak menyeret tubuhku serta, tapi tentu
mengikisnya pelan pelan.
Ararya – jarakmu kini hanya sejengkal ini,
Benarkah kita telah menyerah dan kehilangan alasan untuk saling mencari?
Haruskah aku tetap berbicara lewat surat, seakan kau tak di sini?
-AW
Oleh @awulanp
Diambil dari http://pwulansari.wordpress.com/2013/01/23/ararya-senja-penghabisan/
No comments:
Post a Comment