01 February 2013

Surat Cinta Yang Tertunda


Kepada

Yth. Bapak I Ketut Dharmayuda


Selamat sore, Pak. Apa kabar? Semoga kabar baik selalu menyertai Bapak dan keluarga.

Sebelumnya, saya ingin memberi tahu Bapak bahwa surat ini dilatarbelakangi pembicaraan di antara saya dengan adik saya kemarin malam. Adik saya baru semester satu, dan ia sudah mendengar banyak gosip dari para senior tentang Bapak. Tentang betapa galak dan sangarnya Bapak. Lantas, adik saya bertanya, apakah itu benar, dan semengerikan apakah Bapak kalau hal tadi memang benar.

Maka, sebagai kakak yang baik dan sayang pada adik, saya pun menjawab berdasarkan apa yang saya alami dan rasakan selama menjadi mahasiswa Bapak.

Pertama-tama, saya mengatakan kepada adik saya, bahwa Bapak memang tegas. Sebagai gambaran, saya meminjam sosok almarhum kakek saya sebagai perbandingan, supaya adik saya bisa ikut membayangkan. Ya, Bapak dan almarhum kakek saya punya beberapa kemiripan yang sangat dominan. Sama-sama keras, tegas; tapi kalau sudah sayang pada seseorang, naluri kelembutannya bakal muncul.

Saya ingat, dulu, setiap kali mengikuti mata kuliah Bapak, saya selalu merasa tegang dan deg-degan. Mental saya saat itu memang masih mental SMA, yang berpikiran bahwa belajar  merupakan sebuah kewajiban bukan kebutuhan. Kalau dipikir sekarang, saya juga tidak habis pikir, kenapa saya harus takut kepada Bapak. Mungkin, dulu saya tahu jawabannya, tapi rasanya sekarang saya sudah lupa.

Yang selalu saya ingat sampai sekarang adalah, Bapak akan selalu bersikap hangat dan manis kepada mahasiswa-mahasiswi terpilih. Ialah mereka yang selalu mendapat nilai tertinggi di kelas teori dan di laboratorium. Lucky, Raha, dan Ihwan, adalah tiga dari beberapa anak emas Bapak yang selalu mendapat perlakuan istimewa.

Sayangnya, saya tidak termasuk di dalam daftar itu. Setiap kali saya bertanya, saya hanya akan mendapat jawaban ala kadarnya dari Bapak, bahkan tak jarang Bapak membentak saya hingga rontoklah rasa percaya diri yang saya coba kumpulkan dengan susah payah. Sepertinya, di mata Bapak, hanya anak emas-anak emas itu yang terlihat di dalam kelas dan di laboratorium. Meski begitu, saya tidak pernah membenci Bapak. Saya tidak pernah bolos pada mata kuliah Bapak. Saya tetap belajar dan mengerjakan tugas-tugas dengan sebaik-baiknya.

Dan saya tetap berusaha keras untuk menjadi sosok yang terlihat di mata Bapak.

Sampai pada akhirnya, menjelang tahun terakhir saya kuliah, usaha saya untuk terlihat di mata Bapak mulai tampak. Bapak mulai bersikap ramah dan hangat kepada saya. Bapak mulai menganggap saya ada di dalam kelas dan laboratorium. Bapak mulai menjawab pertanyaan saya dengan jawaban yang memuaskan, membantu saya mengatasi kesulitan mengerjakan kode-kode program, dan membuat saya merasa nyaman setiap kali mengikuti mata kuliah Bapak.

Bahkan, Bapak pun meminta bantuan saya membuatkan desain untuk tampilan menu utama program yang Bapak buat dan akan dijadikan diktat juga buku cetak. Dengan sangat semangat, saya mengerjakan desain yang Bapak inginkan. Saya tidak hanya membuat satu desain, melainkan lima desain alternatif sekaligus. Saya tidak ingin mengecewakan Bapak. Dan syukurnya, Bapak menyukai pekerjaan saya.

Dan di akhir-akhir masa kuliah, Bapak merekomendasikan saya kepada sebuah perusahaan, konsultan property, yang pemiliknya adalah kenalan Bapak. Bapak bahkan bersedia menemani dan repot-repot mengantarkan saya ke tempat yang sangat jauh dan luput saya ingat itu. Saya tidak tahu harus bilang apa lagi selain ucapan terima kasih banyak kepada Bapak. 

Di luar dari apa yang saya tuliskan di sini, saya menceritakan lebih banyak hal tentang Bapak kepada adik saya. Semoga, dengan pengalaman saya tersebut, adik saya bisa mengambil pelajaran dan bersikap lebih bijaksana daripada saya.

Sebelum mengakhiri surat ini, saya ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi, dan meminta maaf atas segala prasangka buruk saya terhadap Bapak.


Bandung, 31 Januari 2013

Dadan Erlangga

Ditulis oleh : @daaduun
Diambil dari http://ininyadadun.wordpress.com

No comments:

Post a Comment