Sengketa Rindu Dari
Kejauhan
Saat menuliskan ini, aku
merasa sangat bahagia. El tahu kenapa? Ada beberapa kalimat yang harus kupetik
dari surat yang kau kirimkan kemarin.
Aku tidak akan
mengucapkan, "Aku masih mencintaimu", karena aku tidak pernah
berhenti melakukannya, sejak pertama hati kita rebah di genggaman yang sama.
Rinduku perlahan pudar
membaca itu. Beberapa detik terpejam. Aku mengingat hari ini seperti aku
mengingat hari ulang tahunmu, juga hari pertama kita bertemu, dimana senyum dan
seluruh gerakmu menjadi bahan terbaik yang tak pernah bosan aku pikirkan.
El, sejujurnya saat ini
aku ingin merayakan rasa ini bersamamu. Dengan makan malam di tempat
kesukaanmu, atau sekedar menyusuri jalanan kota, menikmati hujan dengan berbagi
cerita tentang apa yang sudah kita lakukan seharian. Aku ingin melihat
kebiasaan lucumu, memercikkan air kecil-kecil dari pipet minumanmu ke wajahku.
Harus malam ini! Tak
boleh besok, lusa ataupun kapan. Sebab, mencintaimu selalu kulakukan sekarang,
apa adanya, semestinya dan semoga seterusnya. Namun jarak...
Ah, inilah hal yang
paling kubenci dari jarak!!
Setelah beberapa bulan
aku disini, tak ada lagi sidik jari yang biasa dihafalkan kulit pipiku. Tak ada
lagi cubitan-cubitan kecil di pinggangku ketika aku ngebut di jalanan, seperti
kebiasaan yang El lakukan saat kuboncengkan. Bangku kiri yang selalu kosong
saat berangkat dan sepulang kerja, kerap membuat aku muak pada apa yang bernama
"Tugas".
Apakah ini siksa
sementara untuk kita? Agar kita semakin paham bahwa kita memang saling
membutuhkan? Kamu nyaman dengan jarak ini, El? Aku butuh jawaban atas
pertanyaan ini, Sayang...
Jika boleh kugambarkan
rinduku padamu, sama halnya saat kamu terpejam. Betapa besarnya hingga kau tak
dapat melihat apa-apa. Beberapa cerita yang berhasil kuloloskan dari tawamu,
tak ubahnya ludah pahit yang terpaksa harus kutelan.
El, di bagian akhir
suratku kali ini, aku ingin sekali lagi mengatakan bahwa aku rindu menatap bola
matamu yang selalu mampu menunda gerimis, suara tawamu yang menyerupai lantunan
doa untuk bahagiaku, juga pelukanmu yang kerap menyediakan tempat lapang bagi
dadaku. Aku mencintaimu layaknya izin semesta yang menurunkan hujan.
Disana, tetaplah menjadi
bagian terbaik yang bersedia menampung dan merawat seluruh sisa usiaku,
kelak...
Dari lelaki yang tak
pernah bosan mencintaimu... I Love You :*
Di luar kata-kata yang
kutulis disini, aku menelanmu sebagai manis yang dikandung madu. Bergeraklah di
tubuhku sebagai hal yang selalu dimohon oleh nadiku.
Oleh: @penagenic untuk
@elwa_
Diambil dari: http://penagenic.blogspot.com/
---
Oase Rindu.
Kamu memulai surat ini
langsung dengan pancingan nostalgia. Nakal ya. Aku jadi merindukanmu lebih dari
yang sudah ku lakukan.
Hari pertama kita
bertemu? Bagaimana kumalnya aku sepulang kerja ditambah kehujanan pula ke acara
teman kerjaku yang ternyata teman SMA kamu itu? Hahaha, aku hampir tidak mau
ikut kau tahu? Kalau tidak karena ancamannya yang gila itu, kau tahu sendiri
bagaimana dia kalau sudah punya mau. Keukeuh ceuk urang teh. Ya Tuhan, aku
mengingat lagi rambutku yang lepek minta ampun saat itu. Hahaha. sungguh
mengherankan kamu bisa jatuh cinta padaku hingga saat ini, Pen. Mungkin kamu
gila? Hahaha.
Sial, kamu jauh saja
membuatku tertawa hanya dengan sepenggal kenangan.
Oase kecil menggenang
pada pelupuk mataku kini. Hal lucu tentang sebuah kenangan, terasa begitu dekat
namun sebenarnya sudah lewat berapa masa dan hanya berputar-putar seperti
sebuah piringan hitam usang pada kepala. Satu-satunya hal yang menyakitkan dari
kamu adalah, aku hanya bisa merengkuhmu dalam kenanganku. Aku hanya bisa
menghirup sisa-sisa aromamu yang tertinggal pada jaket yang ku bawa terakhir
kali kita bertemu. Sudah, hanya sebatas itu. Cukup untuk persediaan hingga
pertemuan berikutnya.
Kita sedang dalam
perayaan, sayang, perayaan bersama melalui tarian aksara. Melalui
kenangan-kenangan yang terajut indah di dalam masing-masing kepala, parade riuh
hingga hati. Tentang hari-hari yang kita lalu, jalan-jalan di mana serpihan
kita masih mengkristal jelas di tiap sudutnya. Kita sedang bersulang dengan
cara kita sendiri sayang, menuang ingatan dalam gelas tinggi bernama penantian
kemudian kita bersulang dengan udara. Menyesap, menikmati manis pada lidah dan
tetap tinggal di sana hingga oase pelupuk mata kita tak lagi kecil dan runtuh.
Manis menjadi terasa sedikit asin. Rasa laut yang memisahkan kita 100 Kilometer
jauhnya.
Seandainya tangisku
meluruhkan samudera, aku rela menguras air mata yang tersisa hingga waktu
bertemu denganmu tiba, Pen. Sungguh.
Tidak sayang, ini bukan
siksaan. Jangan begitu, nanti kamu malah terbeban dan ingin cepat-cepat
mengakhiri jarak yang sebenarnya tak buruk-buruk amat ternyata. Walaupun aku
harus menabung rindu lebih banyak, walaupun aku harus menangis lebih sering
ketika malam-malam aku merindukanmu dan harus menguburkan kenyataan bahwa kamu
tak dapat ku temukan nanti ketika pagi menyingsing. Tak ada kamu lagi yang
merecoki cangkir kopiku karena milikmu sudah lebih dulu tandas. Tapi aku
mencintai kamu dan jarak kita. Jarak adalah cara Tuhan mendekatkan kita, dan
memperkenalkan tentang sebuah pelukan pun pertemuan yang jauh lebih indah dari
biasanya. Jangan goyah ya sayang. Kita adalah pembenci pun pecinta jarak,
antara kepalamu dan kepalaku mungkin sejauh arak-arak awan sepanjang samudera.
Namun aku tahu, antara hati kita hanya berjarak ruang kosong pada jemari yang
menunggu digenggam lagi pada waktunya.
Pen,
Kamu benar-benar
menyebalkan. Aku merindukan kamu.
Aku sangat merindukan
kamu sekarang. Ah. Kamu menyebalkan.
Surat balasan dari
@elwa_ untuk @penagenic
Diambil dari:
http://brainelstorm.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment