18 January 2013

Sayang?

Selamat sore sayang,

Sayang? Iya, sayang. Mengakui rasa ternyata tak semudah menuliskannya melalui aksara ya? Aku rasa kau paham, betapa aksara ternodai oleh dusta pikiran dan berkilah pada rasa. Ah, “aku rasa”. Baiknya ku ganti saja, “rasa” menjadi “ingin”, agar kau tahu maksudku. Mengatasnamakan “rasa” melalui aksara yang nyatanya belum benar terasa, bukankah itu suatu kebohongan? Bukan hanya membohongi si pembaca aksara, tapi juga ia yang menuliskannya. Untuk apa yang tidak benar terasa, enggan ku tuliskan apalagi mengucapkannya. Aku tak ingin aksara kehilangan makna, terlebih membohongi diriku sendiri untuk apa yang tak ada.

Namun entahlah, denganmu aku seperti membunuh egoku pelan-pelan. Membiarkan terkikis dan terhanyut pada sungai-sungai paradoks. Membawaku menjauh dari hulu stigma yang selama ini erat-erat kugenggam, entah kemana. Aku berharap, mengalir sempurna senatural mungkin, yang tidak hanya bermuara padamu saja, tapi kita.

Menurutku, “Perasaan membutuhkan waktu untuk tumbuh seperti tulang pada tubuh. Proses.”

Katamu, “Perasaan adalah makhluk yang absurd yang hidup dalam dunia tanpa ruang dan waktu, pada masing-masing hati manusia.”

Aku benci mengakui, kalau kau benar.

Nyata seperti menamparku kini. Mempermainkan kata-kata seolah-olah benar tidak ingin berpihak padaku. Kau tahu siapa penyebab lahirnya nyata? Sang waktu. Waktu yang tidak membiarkanku tersesat pada kontradiksi rimba hatiku sendiri, ia yang melahirkan nyata dan memaksa untuk menelan pahit kata-kataku. Aku enggan, kemudian nyata malah mencekik kuat-kuat leherku, tak berhenti sampai aku berteriak kejujuran yang sebenar-benarnya pada semeseta. Aku menyerah. Aku berteriak kencang-kencang, membiarkan semesta tahu, aku menyayangimu. Iya, aku menyayangimu. Bukan hanya kamu, tapi kita.

Bagaimana kabarmu, sayang? Ah, aku lupa menanyakan kabarmu pada awal surat. aku malah asik berbicara tak karuan. Mihihiw. Bagaimana kabar ibukota? Berita banjir dimana-mana. Aku melihat mereka; penghuni ibukota, mencerca dan mengeluarkan sumpah serapah pada linimasa. Bukan, mereka marah bukan karena bumi digenangin air bah oleh hujan. Tapi karena hujan, banjir dimana-mana dan memutuskan aktivitas mereka. Tidakkah terdengar egois, sayang? Aku ingat apa yang kau katakan;

“Jangan salahin hujan. Bumi dan hujan akur dari dulu, sebelum ada beton dan aspal.”

Kau memang pintar. Aku rasa kau benar lagi kali ini. Mereka terlalu arogan, tuk mengakui bahwa merekalah penyebab langit menangis dan bumi tergenangi. Ah, sudahlah. Surat ini ku kirim jauh-jauh bukan untuk membicarakan mereka, tapi tentang kita. Aku harap Pak Pos tidak terhalang banjir untuk menyampaikan surat ini kepadamu. Berharap surat ini kau baca saat sore tiba sesaat sebelum senja, seperti sore saat aku menulis ini, seperti sore saat pertemuan terakhir kita, sore yang bernama; Kita.

Ah, aku mulai meracau lagi. Sudah yah, aku harus membereskan hati yang kau kacaukan bersamaan dengan datangnya egoku, terakhir belakangan ini. Kalian selalu meributkan apa yang seharusnya terjadi disana, dimasa depan kita. Aku rasa kalian berdua akan kalah. Naluriku lebih hebat. Ia lebih mengerti kemana seharusnya hati berpijak. Sebelum ia datang, bertengkar saja terus dengan egoku, biarkan kejujuran terlahir dari sayatan-sayatan yang kalian perbuat pada masing-masing diri.

Jaga dirimu baik-baik ya, sayang. Aku tidak ingin aset kebahagiaan masa depanku hancur begitu saja oleh kecerobohanmu sendiri. Aku disini sedang belajar mendamaikan kalian berdua. Meski seringnya aku nikmati dan tertawa sendiri. Jangan pernah letih bertengkar ya, sayang. Jika keringat-keringat letih mulai menetes dari hatimu, ingatlah, aku tidak sekedar menyayangimu, aku menyayangi kita.


Tertanda,

Wanita Sore.

Aku adalah wanita yang gemar merapal doa

Di tiap sore sebelum senja

Untukmu, untuk kita.

Oleh @iiTSibarani
Diambil dari http://iitsibarani.wordpress.com

No comments:

Post a Comment