Kulihat engkau berdiri, memegang tongkat dengan kaki beralaskan sandal biru-kuning yang sudah tak layak pakai. Kepalamu menoleh ke kiri ke kanan dengan tangan gemetar memegang satu mangkuk kecil berisi receh yang sejak tadi tak kunjung bertambah. Kulihat wajahmu mulai lelah, dihiasi peluh yang mulai jatuh membasahi pakaian hijaumu yang robek di bagian lengannya. Entah sudah berapa kendaraan yang melintas di depanmu, tapi tak kunjung bertambah juga isi mangkuk kecilmu itu.
Renta. Kulihat kakimu tak lagi kuat menopang tubuhmu sendiri. Badanmu yang membungkuk menceritakan dengan jelas betapa berat beban yang coba kau bawa sejak dulu. Kerutan-kerutan pada wajahmu menjadi saksi bisu perjalanan panjang penuh tangis yang kau alami.
Kualihkan pandanganku pada seorang laki-laki kecil yang sedang duduk memainkan batu-batuan di belakangmu. Pakaiannya sama lusuhnya denganmu. Wajahnya kusam, meringis menahan lapar. Terlihat engkau sesekali melirik ke arahnya, memastikan dia baik-baik saja. Beberapa detik kemudian, kudengar dia memanggilmu “Ayah”, dan dengan tersenyum kecut engkau menjawab, “Sabar ya, Nak”. Ah, terasa seperti butiran embun menetes di hatiku. Sejuk. Aku terenyuh. Ku hampiri engkau. Pada detik aku meletakkan sejumlah rupiah bernilai sedikit besar, ku lihat matamu membesar, berkaca-kaca, lalu bibirmu mengatakan, “Terima kasih ya, Nak. Akhirnya kami bisa makan”. Tak terasa airmataku mengalir menyaksikan engkau dan lelaki kecilmu berjalan menuju tempat makan kecil di pinggir jalan.
Ah, betapa mulia hatimu. Guratan lelah khas seorang ayah terlukis jelas pada wajahmu. Terima kasih kepada engkau, lelaki tua bertopi lusuh, karena engkau aku jadi tahu bagaimana caranya bersyukur.
Palembang, 17 januari 2013
Ditulis oleh : @dellannissah
Diambil dari http://dnurannissah.blogspot.com
No comments:
Post a Comment