18 January 2013

Baruna

Baruna,

Gerimis hari ini tak habis habis. Taukah kau apa artinya?

Aku rasa alam memintamu berhenti sejenak. Dua butir matahari dan telur mata sapi sudah lama lewat. Patah patahan lirik lagu, melodi yang sumbang, belasan kali dimainkan. Tukang sepatu dan saingannya berhenti saling teriak dan berkemas sedari tadi. Pohon, jalan jalan kota perlahan lengang. Sekarang sunyi. Hanya ciut ciut pena digesek dan tetesan yang terpantul kaca jendela.

Seseorang di luar mungkin merindukanmu. Ia menengadah, memohon hujan. Lalu gerimis turun semusim dua musim. Begitu setia doanya sampai ia turut menjelma. Berharap akan punya kekuatan untuk menyeretmu pulang dalam air yang besar. Sehingga kau tak lagi punya alasan duduk di bantal kapuk, menertawai burung yang terpeleset genangan air hujan.

Baruna,

Gerimis hari ini tak habis habis. Dan aku tak tahu apa artinya.

Mungkin doaku gagal. Mungkin berhasil. Tapi kau tak juga pulang, kehormatanku. Dalam (aku) air yang besar, kau juga adalah air yang besar. Baruna, Devanagari – kau air dari segala air. Kita ternyata magnet sama besar, memberi juga menahan. Tiada guna bersaksi melihat siapa si kalah. Ulangmu berkali kali, kita saling memandang sudah dari jarak yang tepat – niscaya semuanya akan baik baik saja.



Dan benarkah itu, Baruna, tak ada yang patut dikhawatirkan melainkan ego sendiri?
Benarkah itu, Baruna, kau tak perlu pulang dan berjanjilah terus menjaga diri?
Memang semua sunyi. Namun aku perlu mendengar sesuatu selain suara pikiranku ini.


Oleh @awulanp
Diambil dari http://pwulansari.wordpress.com

No comments:

Post a Comment