Maaf, Sal...
Kepada Salsa,Semalam aku terima suratmu, dan semalaman pula aku tak bisa tertidur dibuatnya. Aku tak percaya Sal kita melakukan ini, menghabiskan waktu untuk menulis surat demi sebuah kabar. Jadi, kamu masih setia dengan pagimu? Pagi yang dulu setia kau habiskan dengan secangkir kopi sebelum memulai hari? Ah, aku ingin sekali membawakanmu roti kesukaanmu seperti dulu yang biasa aku lakukan setiap pagi sebelum kita sibuk dengan dunia kita masing-masing. Iya Sal, aku ingin kita.
Sal, jangan mulai membuatku khawatir dengan keisenganmu yang suka berpergian meski tak tahu arah, ya? Aku tahu itu menyenangkan, tapi siapa yang akan menjagamu setelah aku tak lagi di dekatmu? Memang, Jogja tidak seperti Jakarta tapi setidaknya carilah teman agar tak sendirian. Aku sendiri juga ingin menemanimu menyusuri jalan-jalan yang tak pernah kita lewati sebelumnya, tapi sekali lagi jarak yang berkuasa, bukan? Aku kangen kita, Sal. Oh, ya bagaimana dengan teman-temanmu di sana? Jaga baik-baik dirimu di sana, ya? Aku hanya tak ingin kedua orang tuamu khawatir di rumah, pun aku.
Beberapa minggu belakangan banyak hal yang berubah di hidup kita berdua, bukan? Aku mendadak pergi ke Kupang sementara kamu harus melanjutkan pendidikan di kota lain. Maaf, bukan maksutku untuk tak memberitahukanmu tentang penugasanku ke Kupang, hanya saja waktu itu aku tak ingin menambah beban pikiranmu dengan kepergianku kelak. Toh, kepindahanmu ke Jogja untuk melanjutkan kuliah sudah cukup banyak menyita waktu, tenaga dan pikiranmu. Aku hanya tak ingin jadi beban, terlebih untukmu. Semoga kamu mengerti.
Maafkan aku, Salsa.
Sahabatmu,
Adit
Oleh @merelakan untuk @shcl
Diambil dari adityadaniel.com
---
Surat balasan @shcl untuk @merelakan
Hujan Tanpamu
Kepada Adit,
Entah apa yang membuatmu tak bisa tidur, namun harus kuakui aku
tersenyum karenanya. Ternyata masih saja kebiasaan tidur larutmu itu
kamu lanjutkan ya? Ingat kesehatanmu ya, Dit. Kamu bukan manusia super
yang bisa bertahan dengan tidur kurang dari 3 jam tiap harinya; jujur
saja aku selalu mengkhawatirkan kondisi tubuhmu.
Sedari pagi hujan, Dit. Tak berhenti bahkan hingga sekarang. Mungkin
dengan hujan sederas ini, kamu bisa berhenti mengkhawatirkan kebiasaanku
itu; aku tidak berencana bertualang, hujannya terlalu deras dan aku
tidak berani mengemudi dengan cuaca seperti ini. Bagaimana di Kupang?
Apakah sekarang atapmu juga sedang dideru titik-titik air yang selalu
kita candu itu?
Hujan tanpamu tidak sama. Ada sesuatu yang membuatku merasa sendirian,
tak lagi tenang. Aku ingat dulu kita pernah menepi di dekat minimarket
karena kamu tidak ingin aku sakit akibat hujan. Sebenarnya jika dipikir
lagi, saat itu tidak menyenangkan. Kita basah dari ujung kepala hingga
kaki, udara dingin hanya dapat terbantu dengan hangatnya kopi yang kita
beli, tapi saat itu aku tenang, Dit. Hujan denganmu membuatku
tenang. Namun saat ini aku merasa kehilangan.
Ah, melantur saja aku sedari tadi. Memang, saling mengirim surat seperti
ini tak sama dengan berbicara denganmu seperti dulu, tapi ini jauh
lebih baik daripada saat kita bahkan tak saling sapa dan hanya tenggelam
dalam kesibukan yang seperti tak punya ajal. Aku tidak marah Dit, kamu
tidak perlu meminta maaf. Aku hanya kesal dan menyesali saat terakhir
kita bertemu malah dengan keadaan seperti itu. Sekarang yang aku
inginkan, hanya kita yang kembali seperti sebelum semuanya terjadi, kita
yang tiap paginya selalu berisikan cerita dan tawa yang tak
henti-henti. Semoga dengan tiap surat-surat yang ada, jarak akan
berhenti ikut bercengkerama.
Semoga.
Yang merindumu juga,
Salsa.
Diambil dari shcal.blogspot.com
No comments:
Post a Comment