10 February 2013

Tinta Cinta untuk Ibunda (1)


Untukmu, Tinta Cintaku,

Ibunda,

Ini surat pertamaku untukmu. Surat yang tak pernah akan kaubaca, sampai aku yang membacakannya untukmu. Jujur, aku bingung mau memulai dari mana. Sebab tentangmu tidak pernah cukup diceritakan lewat kata-kata. Bahkan lebih dari sejuta kata pun, tentangmu takkan pernah cukup. Bagaimana bisa cukup, sedang cintamu saja seluas semesta. Sementara aku, bahkan kadang memberikan setetes cinta pun dengan sedikit keluhan. Sungguh tak ada apa-apanya dibandingkan dengan samudera kasihmu, sebab memang tidaklah pantas untuk dibandingkan.

Ibunda,

Aku ingin tetap memanggilmu dengan panggilan ‘Simbok’, seperti yang kauajarkan sejak aku kecil, dan bukan panggilan keren menurut orang lain. Bagiku, apa pun panggilan untukmu, tidak akan mengubah samudera kasih yang kaumiliki. Kau tetap istimewa dengan segala keterbatasanmu.

Simbok,

Selama sembilan bulan sepuluh hari, kau dengan sabar merawat janin yang sekarang tumbuh menjadi aku. Aku tumbuh menjadi lelaki kecil yang ceria. Meskipun begitu, kau pernah cerita tentang masa kecilku yang terlalu lemah. Entah sudah berapa kali masuk rumah sakit. Baru panas sedikit saja, langsung ‘step’ dan dibawa ke dokter. Begitulah aku yang manja, katamu. Bukan itu saja. Masih banyak kemanjaan lain yang tak pernah membuatmu menyesal telah melahirkan aku ke dunia.

“Simbok wedi kowe koyo almarhum Masmu. Makane Simbok ora nyapih kowe sampe sak bosen’e dewe.”

Begitu ceritamu padaku. Dan, berkat tekadmu menjaga hidupku, kau pun membiarkanku menyusu hingga hampir berusia empat tahun.

“Ah! Simbok. Jangan diceritain to. Aku kan malu,” kataku.

“Kenapa harus malu, Le. Wong memang kenyataannya seperti itu kok,” jawabmu.

Aku terdiam. Setidaknya dari pengakuan Simbok, aku tahu tentang ketulusan memberikan yang terbaik untuk anak bungsunya, aku.

Simbok,

Waktu pun terus berlalu. Usiaku menginjak lima tahun saat kau mengantarkanku ke gerbang sekolah TK di kampung kita. Waktu itu aku masih malu-malu. Sebab itu pertama kalinya aku harus berani berinteraksi dengan dunia luar. Aku masih ingat saat itu aku masih termangu di depan kelas.

“Kamu harus sekolah, Le.”

Aku pun akhirnya menurut. Genggaman tangan pun terlepas. Dan, aku perlahan memasuki dunia baruku dengan teman-temanku. Ternyata tidak semenakutkan perkiraanku. Dengan dorongan kasihmu, aku punya keberanian untuk berbaur dengan teman-temanku.

Simbok,

Tidak banyak yang kuingat tentangmu saat aku masih memakai seragam TK. Kau bahkan tak pernah mengajariku mengeja aksara. Sebab kau sendiri pun tidak memahaminya. Tapi, aku tidak pernah menuntutmu untuk mengajariku. Aku hanya butuh doronganmu, bahwa bagaimanapun keadaannya, aku harus tetap sekolah.

“Lha mosok Simboke dagang jamu, anake yo arep dadi dagang jamu?”

Sederhana kata-kata itu, tapi mengandung makna yang luar biasa. berkat kata-kata itu, aku semakin bertekad kuat untuk memberikan yang terbaik dengan dukunganmu.

Simbok,

Panjenengan istirahat dulu ya. Aku mau masuk kelas. Tunggu di rumah, nanti tiba giliranku untuk mengajarimu kelak di suatu waktu.

Aku,
Anak bungsumu,

@momo_DM

Oleh @momo_DM
Diambil dari http://bianglalakata.wordpress.com

No comments:

Post a Comment