#30HariMenulisSuratCinta adalah proyek non komersil yang digagas untuk menggabungkan kesenangan menulis di twitter dan blog. Proyek belajar menulis bersama ini dilaksanakan setiap 14 Januari - 14 Februari setiap tahunnya. Ini adalah tahun ketiga pelaksanaan proyek menulis yang juga menjadi ajang silaturahmi dari blog ke blog.
10 February 2013
Kepada Tuan Pemilik Hati Seluas Langit
Rumah, 9 Februari 2013
Dear Kak…
Apa kabar? Seharusnya kau sedang dalam keadaan paling baik. Bukankah sebentar lagi kau akan menikmati masakan ibumu dan tidur di kamarmu sendiri? Dan aku, aku baik, jika kau ingin tahu. Sangat baik malah untuk ukuran perempuan yang seharusnya sedang sakit sebab rindu.
Aku tidak tahu ini berawal dari mana, tapi mungkin saja karena kepalaku menolak untuk tidak berpikir. Yang aku tahu adalah ia yang tiba-tiba saja duduk di depan buku besar dan mulai membuka ratusan lembaran di sisi kiri. Ternyata, itu kegiatan yang menyenangkan. Paling tidak sejauh ini. Untuk seorang yang tak memiliki apa-apa di dalam kewajiban mengurus rumah dan menafkahi keluarga, kegiatan itu cukup menyita waktu. Membunuh setiap detik hingga mataku merintik. Dan kupikir itu tak apa, kan? Bagaimanapun, setidaknya, itu membuatku bisa terus melukis kamu. Sebab seringkali aku takut, waktu bisa saja mengambil wajahmu dari ingatanku.
Aku sesungguhnya tak pandai menulis. Huruf hurufmu tertelan olehmu. Atau mungkin juga tidak seperti itu. Sebab di kepalaku, kata kata berlomba mencari celah untuk berhamburan keluar. Tapi kau tahu, topiknya masih sama, dan akan selalu sama.
Jadi, seperti ini rasanya. Ketika hari-hari seperti ini di waktu yang lalu. Kau tak pernah tahu cara merapikan isi tubuhku yang berserakan di lantai kampus, jantungku utamanya. Kulihat ia berdenyut keras, teronggok begitu saja di atas ubin abu-abu. Kau tak pernah tahu cara mendamaikan tanganku yang setiap lima detik mengintip layar ponsel, kalau-kalau ada pesan masuk tanpa kusadari. Kau tak pernah tahu bagaimana aku ingin menyambutmu dengan cantik, sedikit berdandan dengan polesan makeup tipis dan pakaian yang modis; sebab aku tahu aku terlalu biasa, sebab aku tahu perempuan di luar sana lebih bisa mengalihkan pandanganmu dalam lima detik. Yang kau tahu, hanya lima detik ketika nomor kita terhubung, dan memintaku membuka pagar. Yang kau tahu, alih-alih berdandan, aku malah menyambutmu dengan kaus longgar dan celana lusuh. Sebaik itukah kau menerimaku?
Aku tak pernah mencoba mengingat tentang bagaimana kita memulai ini, sebab ia berbaik hati muncul begitu saja. Masa lalu adalah pencetus yang baik untuk ini, dan tuhanmu mengamini. Aku menertawakan kebodohan yang paling sempurna. Olehnya, aku bunuh diri di matamu. Permulaan yang kupikir tak begitu baik, karena aku membuka nerakaku sendiri. Dan tentang aku di dalammu, aku tak betul-betul peduli. Simpan saja untuk nanti. Sebab perjalanan, mungkin segera bertemu tepi, lalu kita, aku, akan bersenang-senang menata lagi.
Ada banyak kata seharusnya di dalam kita. Tapi yang kutahu, di dalam aku, kini, aku membayangkan senyummu dan mata teduhmu yang selalu bisa meluluhkan; hal yang jarang aku temui beberapa waktu terakhir ketika kita sempat bertemu kemarin. Kemudian aku bertanya-tanya, sudah sepanjang apa kuku kelingkingmu sekarang, atau seberapa berantakan rambutmu kini. Atau apakah pada akhirnya orang rumahmu menyadari efek olahraga malammu? Aah apakah aku bercanda dengan cara yang salah (lagi)? Maaf.
Perjalanan membuat hal-hal baru bermunculan. Jika saja kita menyadarinya sebelum kehilangan, atau menahan eksistensinya sebelum pudar… tapi bukankah kita dilarang berandai-andai? Dan waktu, menurutmu, selalu menjadi penentu. Sementara sabar, buatku, membuat jarak semakin melebar.
Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku, tapi pagi itu, ketika kau menutup mata lama sekali hanya karena satu pertanyaanku, aku jadi berpikir. Dari sekian ratus hari yang telah lewat, pertengkaran paling hebat atau pelukan paling erat, di keadaan paling baik di antara yang terbaik, apakah kita sudah benar-benar saling mencintai? Ketika yang menenangkan dan menyenangkan perlahan pergi, masihkah kita menunggu menatap punggungnya agar ia berbalik? Kita tak akan membahas harapan di sini. Kau (seharusnya) sudah tahu jauh sebelum ini, meski menolak mengamini. Tapi malam itu, bagaimana kau bercerita tentang mimpi, selalu membuatku perih. Kita terlalu banyak menaruh harap jauh di atas sana, tapi terlalu takut mencoba untuk menaiki tangganya. Tak apa. Aku tak sedang ingin menuntut sekarang. Bukankah kita serupa anak kecil yang mencoba berbagai hal tanpa takut akan akibatnya? Paling tidak, ia akhirnya tahu apa artinya sakit.
Tak ada keharusan untuk menuntaskan pertanyaan. Sebagaimana janji yang tak mampu diselesaikan. Yang aku tahu adalah bagaimana hati ini menolak semua yang disebarkan pikiran, kemudian membayangkan sebuah pertemuan.
Aku masih ingin duduk lama di sampingmu, dengan coklat panas dan setumpuk bisu. Aku masih ingin dituntun berjalan, membelah kerumunan orang dalam mall yang sangat kutahu kau benci melakukannya. Aku masih ingin merajuk karena kau terus menggodaku atas film yang harus kita tonton, atau ketika kau tak bisa mendapatkan boneka besar di ruang taman bermain itu. Aku masih ingin marah untuk tempat parkir yang jauh, atau tentang penyakit lupamu untuk membeli payung. Aku masih ingin bercerita dengan kisah yang berulang-ulang, kemudian diam karena cemburu pada jalan. Aku masih ingin berlama-lama mencium parfum mobilmu yang kita pilih, kemudian tenggelam dalam malam yang rapuh. Aku masih ingin membujukmu untuk naik mobil biru, menertawai kau yang berpeluh dan mengeluh. Aku masih ingin memaksamu menuntaskan makananku. Aku masih ingin bertengkar karena lelucon. Aku masih ingin pergi ke tempat-tempat yang tidak membuatmu malu berjalan bersamaku.
Dan di luar itu semua, aku masih ingin memilikimu, lebih dari sekadar jumper, atau buku filosofi tebal. Aku masih ingin bersamamu, bukan hanya memiliki pakaian yang sama. Aku masih ingin bertahan, tak mau merasa cukup dengan persinggahan.
Dan…
Aku masih ingin mencintaimu, dengan sempurna, dengan sekadarnya aku.
With love,
(still) Yours
ps: setelah suratku habis kau baca, aku membebaskanmu; dari segala ingin, dari setiap hutang, dari janji. Dan maaf, mungkin akan ada sedikit keriuhan di tab mention-mu. Well, don’t too worry about me, just enjoy your field-break. Selamat berlibur :)
Oleh @Amy_AWP untuk @wdarusman Sumber: http://a-mystify.tumblr.com
Labels:
Surat Cinta #27
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment