10 February 2013

Dari Hujan untuk Tanah


Kepada Tuan Tanah di tempat.

Terlebih dahulu, aku ingin berterima kasih untuk suratmu tempo hari, hei Tuan Tanah.

Kala itu aku sedang beristirahat selepas lelah bekerja seharian, ketika kawan kita, angin, menerbangkan suratmu ke depan pintu rumahku. Aku pun seketika terkejut mendapati bahwa surat itu darimu. Aku sudah terbiasa mendapat surat dari manusia-manusia yang gemar membubuhkan pujian dan rasa terima kasih untukku, namun kali itu surat tersebut sungguh berbeda. Surat itu darimu, makhluk yang hampir setiap hari kutuju.

Setelah menerima surat yang terulur dari tangan angin, kubawa surat beramplop biru muda yang pada bagian depannya terdapat hiasan gambar dandelion di sudut atas kiri dan sudut bawah kanan itu ke dalam kamar. Wangi kertasnya pun menyeruak ke seisi ruangan seiring kubuka segelnya dan menarik selembar kertas berwarna biru lebih tua yang dilipat secara tiga sisi. Dalam selembar kertas itu ada sekitar enam paragraf tulisan yang kau tulis rapi dengan pulpen hitam yang mungkin seharga dua ribuan –jika memang benar kau yang menulis sendiri surat itu.

Membaca suratmu, seketika ada rasa “deg” menjalari tubuhku. Pada kalimat pertamamu saja, aku ikut hanyut pada pertanyaan, “mengapa kita tidak pernah bertegur sapa?”

Tentu bukan sifat pemalumu yang membuat kita tidak pernah mulai menyapa apalagi bercengkerama. Aku yang salah. Aku lah yang kurang peka. Sejak dahulu kala kau selalu diam di tempat, sementara aku lah yang datang dan pergi seakan-akan aku adalah tamu berkunjungmu. Maka seharusnya aku lah yang terlebih dahulu menyapamu, meminta izin untuk menjatuhkan diri padamu, lalu setiap hari memulai percakapan denganmu seperti kawan lama yang sudah lama tidak bertemu.

Sekali lagi, kurasa aku yang kurang peka. Setiap harinya, setiap waktu aku bertugas untuk membasahi antero bumi, aku hanya mengikuti siklus. Aku terlalu sibuk dengan konsep tugas dan peranku. Jatuh dari langit yang tak pernah kau ketahui berapa jauhnya, lalu jatuh menghantammu, mendingin-dan-basahkan dirimu.

Setidaknya aku harus berterima kasih, karena suratmu itu, aku terdorong untuk mengikis kekurangpekaanku ini. Mari segera bertegur sapa, hei Tuan Tanah. Lalu sembari aku perlahan-lahan jatuh menimpamu, kita akan secara lisan saling bercengkerama. Kau akan bercerita tentang peran hebatmu untuk kehidupan manusia. Kemudian aku akan menjawab rasa penasaranmu tentang perasaan apa yang menghinggapiku tiap kali jatuh menujumu  –karena  aku takut akan banyak orang yang tahu jika aku menjawabnya di sini.

Untuk yang terakhir, aku meminta maaf karena terhitung lama membalas suratmu. Maklumi saja ya, selain karena aku bingung merangkai kata yang agar terdengar apik olehmu, sekarang adalah bulan di mana aku sedang sibuk-sibuknya mengguyur bumi. 

Dari yang selalu membuatmu basah dan dingin,

Hujan.

*(Balasan untuk “Dari Tanah Untuk Hujan“)

Oleh @itashn
Diambil dari http://mengusang.wordpress.com

No comments:

Post a Comment