10 February 2013

I’m a Terrible Friend


Do i have to say hi? I don’t think so.

Akhirnya gue menulis buat lo, Jun. Setelah berjuta tahun kita kenal dan beberapa surat yang gue buat, akhirnya gue menulis buat lo.

Bolehkah gue membahas waktu dulu, Jun? Boleh. Jelas boleh karena surat ini yang menulis gue, bukan lo. So, let’s get back to the times when you were such a snob. Gue yakin diantara 39 anak kelas sepuluh delapan, cuma Lele yang sanggup menghadapi lo. Atau mungkin sebenernya Lele juga muak tapi dia menutupinya demi pertemanan baik kalian semasa SMP.

Lalu kita masuk oska, Jun. Kita berbagi telenovela sama Micu, Mbe, Tati, Nuning, Chio, Sasa, Edha, Tata, Acil, Kojong, Mbo, dan yang lainnya. Ngga ada bagian dari oska yang gue sesali, Jun. Segala cerita kita mempersiapkan ldk sampai jatuh bangun naik motor di rel kereta pinjem punya cem-ceman-nya Ceha, mempersiapkan sparted sampai gue menangis bombay di belakang stage, atau lo yang jelas menikmati jatuh cinta lo dalam diam.

Gue ngga pernah ngeluh Jun lo jadikan sebagai tameng dalam kisah cinta lo. Ingat cerita bebek-bebek dalam toples? Gue dengan senang hati menawarkan diri menjemput kakak kelas lo tersayang itu. Lalu datang kisah sebenarnya yang sampai kini masih setengah mati lo coba lupakan, Jun. Gue ngga terlalu terlibat dalam ini karena gue tau, lo menikmatinya sendiri.

Orang-orang bilang kita terlalu banyak mengeluh, Jun. Mereka ngga tahu bahwa sebenarnya kita menertawakan diri kita sendiri. Kita selalu menertawakan luka dan menyambut hangat kesedihan yang sudah kita duga akan datang. Bagi gue, ngga ada yang salah dengan hal itu, Jun. Tertawakan diri kita sendiri sebelum ditertawakan orang lain bukan?

Tapi kisah yang lo rajut kali ini tidak untuk ditertawakan, Jun. Lo sudah memasuki usia dewasa. Kita bukan lagi dua bocah SMA yang rela berlari dari gedung sekolah paling belakang ke toilet di samping kantor Wakasek hanya demi melihat kakak kelas pujaan kita. Kita bukan lagi dua anggota osis-mpk yang rela bermalam di sekolah demi reuni akbar, masa bimbingan studi, ataupun lomba 17 Agustus. Bukan pula komandan disiplin sekolah menengah atas yang ditakuti dan dikirimi surat cacian lagi. Kita sudah dewasa, Jun.

Mungkin sudah saatnya bagi kita untuk tidak lagi terbahak pada perih-perih yang menghampiri. Gue rasa Tuhan juga sudah kehabisan selera humor untuk bermain dengan hati kita. Mungkin kali ini Tuhan ingin kita untuk mencoba serius. Untuk mengenal luka dan tawa sebagai mula. Bukan menjadikan mereka berdua sahabat baik seperti yang selama ini kita anut. Menertawakan luka.

Sudah hampir enam tahun kita kenal, Jun. Mungkin selama ini gue hampir selalu ada buat lo, tapi sampai kapan? Lo sudah sangat mandiri, tapi kita berdua tahu, sepuluh tahun yang akan datang kita tak ingin duduk di teras rumah sendiri bukan?

Cobalah untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri. Memang laku kita terlanjur mampu, hati kita terlalu beku, dan otak kita terlampau mampu, tapi gue rasa tidak ada salahnya untuk mulai memisahkan yang seharusnya berbatas.

Tapi selama ia yang mampu menjadi tameng atas segala celaan yang ditujukan buat lo belum datang, lo punya gue.

Untuk selalu menertawakan lo.


Ditulis oleh : @giustiageoda untuk @ijuniastuti
DIambil dari http://giustiageoda.tumblr.com

No comments:

Post a Comment