07 February 2013

Surat #DuaHati @commaditya dan @JiaEffendie


Ibadah Baru


Nona Meta,

Saya tidak akan mengaku bahwa saya mengerti semua masalah nona. Saya juga tidak ingin meyakinkan nona bahwa semua akan baik-baik saja. Namun, semua masalah nona adalah pengalaman khusus yang diserahkan kepada nona untuk diselesaikan.


Maaf jika saya lancang seperti menasihati, beberapa hari ini saya merenung. Iya, saya merenungkan sedalam-dalamnya kata-kata nona di surat sebelumnya. Tentang kejenuhan, tentang penunjukan diri anda sendiri terhadap anda atas segala kesalahan, tentang pemaksaan-pemaksaan kehendak yang anda kira orang-orang lakukan kepada anda.

Nona,

Tidakkah setiap orang menginginkan ruang untuk dirinya sendiri? Tidakkah semua orang merasa memiliki hak untuk mengatur keberadaannya di dunia? Selama hampir sepuluh tahun, saya memilih untuk menjadi diri saya sendiri dan menyenangkan diri sendiri, nona. Saya tidak pernah menyesal, karena ini pilihan saya. Nona sudah pernah mencobanya, dan saya melihatnya setiap hari. Nona adalah nyawa toko nona. Orang-orang di dalamnya–Joko, karyawan-karyawan nona–berkerja dengan bahagia di sana. Di setiap mata mereka ada api yang lebih hangat dari api di tungku-tungku yang mereka aduk.


Saya senang sekali bagaimana nona menggambarkan hubungan nona dengan kue-kue tersebut. Saya pun merasakannya. Seperti yang bagi saya, bernyanyi adalah ibadah. Pada setiap gesekan gitar saya, dan nada-nada yang berhasil saya dengungkan jadi irama, saya merasakan tuhan. Pada nyanyian-nyanyian gadis-gadis kecil dan genggaman-genggaman setiap pasangan yang lewat setiap saya menyanyikan lagu mereka, saya merasakan cinta. Membersihkan setiap bagian gitar saya, seperti merawat kekasih. Berolah raga setiap pagi untuk menjaga nafas dan jangkauan nada saya, jadi bagian setiap ibadah saya. Saya tidak peduli jika mereka bilang saya pengamen sunyi. Apa yang saya rasakan setiap hari bukanlah kesunyian. Saya merasakan bahagia setiap menghibur mereka, mungkin hal itu pernah nona rasakan juga.


Namun perbedaan kita adalah, saya sebatang kara; nona punya keluarga. Saya hanya bertanggung jawab kepada diri saya sendiri, nona punya ikatan yang harus nona jaga. Dan saya pikir ikatan itu seperti sarang laba-laba, sementara nona kupu-kupu yang terperangkap menempel. Nona bisa saja meronta pergi, namun nona malah menunggu mati. Tidak, Nona. Saya bukan ingin menghasut. Hanya menyayangkan, sebuah toko kue yang berhasrat sepertinya akan berubah menjadi pabrik yang dikelola robot-robot. Pasti bukan itu yang nona mau.


Dan, nona sudah bertunangan.

Bagaimana pun, dari dalam lubuk hati saya yang paling dalam, saya mendoakan yang terbaik bagi hubungan nona. Dalam setiap hubungan, pastilah selalu ada masalah yang mengguncang. Untuk wanita sedewasa nona, hal-hal seperti ini sudah bukan rahasia hidup lagi. Hal ini adalah hal-hal yang musti dihadapi. Semoga scarf yang kembali ke tangan nona tersebut, bisa merekatkan kembali nona dengan tunangan nona.


Nona, surat ini saya tulis dengan senyum yang dipaksakan. Sungguh sulit sekali menerima bahwa anda sudah bertunangan, namun lebih sulit lagi untuk tidak menulis kepada nona. Seandainya saya bisa jadi orang yang melindungi nona, atau meyakinkan nona bahwa semua akan baik-baik saja, atau melindungi nona dari kekhawatiran akan hal-hal yang mengancam kebahagiaan nona. Untuk sekarang ini, biarkan saya jadi kertas, tempat nona menumpahkan kata-kata. Dan nona tahu, bahwa setiap kata yang nona tuliskan, akan selalu mendapatkan tempat di pikiran saya. Membaca nona, kini jadi ibadah tambahan untuk saya.

Salam,
Pecandu kata-katamu,

Agni


Oleh: @commaditya untuk @JiaEffendie
Diambil dari: http://commaditya.tumblr.com/


---


Bukan Pusat Dunia

Tuan Agni,

Saya merenungkan surat Anda lama sekali. Semoga Anda tidak jadi gelisah menantikan kehadiran surat saya di tangan Anda. Sekarang setelah saya merasa lebih baik, saya malah menganggap sikap saya kemarin itu berlebihan. Kita hidup di dunia ini dibebani oleh harapan-harapan dari orang lain. Namun, beban itu sesungguhnya tidak boleh dijadikan beban, karena kita juga berharap pada orang lain dan membutuhkan bantuan mereka. Setidaknya saya, saya masih membutuhkan sesuatu dari orang-orang di sekeliling saya, bahkan orang asing sekalipun.

Merenungkan kembali segala yang terjadi, lalu surat dari Anda, membuat saya menyadari betapa saya egois, menginginkan segalanya berjalan sesuai dengan cara dan keinginan saya. Saya lupa, saya bukan pusat dunia, dan bukan begitu cara dunia.

Tentu saja, tunangan saya benar. Orang-orang di sekeliling saya benar. Ibadah saya mencicipi kue setiap memanggang, tiba-tiba terasa konyol jika dipikir-pikir lagi. Tentu saja, tidak ada salahnya mencicipi kue yang baru keluar dari oven. Namun, jika saya menjadikannya sebagai cara saya bersembahyang, konyol sekali. Barangkali saya perlu pelipur dari luka-luka lama yang saya rasakan, tetapi saya membawanya ke arah yang salah.

Saya membaca surat Anda berkali-kali, sampai kertasnya lecek. Saya meresapinya, dan saya berterima kasih. Toko saya akan tetap buka dan saya tidak akan menjadikannya pabrik kue tempat para pekerjanya bekerja seperti zombie. Saya akan tetap membuat kue, tetapi bukan dari kepahitan. Saya ingin orang-orang yang memakan kue saya merasakan hangat dan bahagia, bukan mencicipi pahit hidup saya.

Agni,

Pernikahan kami dibatalkan. Kami tidak berhasil menemukan titik temu, dan kami tidak lagi memiliki alasan untuk tetap bersama. Tidak apa-apa, barangkali itu cara semesta memberi tahu, ada yang lain yang lebih baik untuk saya.

Undangan saya masih berlaku. Saya ingin mendengar Anda memetik gitar sambil menyanyi, dan saya akan menghidangkan sepotong kue kecil yang manis, dan sedikit pahit. Seperti halnya hidup.

Salam,

Meta


Surat balasan dari @JiaEffendie untuk @commaditya
Diambil dari: http://metanikalanta.tumblr.com/

No comments:

Post a Comment