07 February 2013

Patah Hati


Aku tak peduli orang bilang kenikmatan kopi ada pada rasa pahitnya. Ketika Tuhan menyerahkan jatah hidup untukku, aku tahu setelahnya semua jatah itu adalah milikku. Selera orang tak perlu mencampuri. Kecuali aku yang mencampurnya sendiri.
Dan menurutku kopi di sini tak enak. Tak manis. Aku suka kopi yang manis.

Kopi di sini juga terlalu pekat dan kental. Aku suka kopi yang encer, yang lebih banyak susu ketimbang kopi.

Namun cuma dari kedai ini aku bisa melihatmu, setiap Minggu pagi duduk di bangku taman dengan kamera di tangan. Sepertinya aku harus berterima kasih pada para kolonial karena mewariskan arsitektur jenius pada nenek moyang. Jendela besar kedai kuno ini alat bantuku untuk mencuri pandang.

Tepat jam 9.15, kau sandarkan sepedamu, lalu duduk di bangku. Di saat kau sibuk memotret, di saat itulah aku menikmati wajahmu, Nona. Menikmati wajah cantik dan segar. Aku layaknya bunga matahari yang tertimpa sinar.  Kesilauan inilah yang kudambakan. Harapan untuk menciptakan kita di antara aku dan kamu menjulang.

Tapi tak seperti Minggu-Minggu sebelumnya, koran yang kuambil dari rak kedai pagi ini merusak semuanya. Pemerintah kota ini busuk sekali, Nona. Mereka ternyata membuat rencana-rencana pembangunan menyebalkan. Tidak ada lagi bangku taman. Bahkan tak akan ada lagi taman. Apartemen-apartemen dan kondominium siap menggantikan.

Jika sudah begitu, apa gunanya aku menikmati kopi di belakang jendela besar kedai ini??

Kau tak akan pernah lagi duduk di sana.

-

Ini kopi terakhirku, Nona.

Dan ah, ini kopi terpahit dan terburuk yang pernah aku minum!

Oleh @ildesperados
Diambil dari http://abracupa.posterous.com

No comments:

Post a Comment