Senja sedang menuju ke ufuk barat meninggalkan semburat jingga yang terasa berat. Aku sedang mengayun langkahku mencarimu. Hampir putus asa aku mengelilingi Alengka yang maha adidaya. Kupicingkan mata kucoba membuka pelupuk yang mulai terkantuk. Sayup-sayup nyanyian sendu itu tiba-tiba terdengar olehku. Kuikuti bunyi dengan hati-hati agar tak ada yang mengetahui. Kuintip suatu taman. Taman Argasoka kau berada. Terkawal Trijata, kemenakan Rahwana, raksasa yang memaksa menjadikanmu permaisuri raja.
Dan ternyata…entah apa yang kurasa, Shinta. Maaf bila aku telah jatuh cinta. Bukan pada pandangan mata, hanya dari lagu suara sendu merindumu. Tak pantas sebenarnya aku mengakui itu. Aku hanya yang dititah untuk membebaskan kau dari cengkeraman Rahwana. Dan nyanyian itu sudah pasti bukan untukku. Mana mungkin pula aku mengkhianati sahabatku Rama dimana aku berhutang budi atas terpenuhinya permintaanku terdahulu. Aku bukan yang menusuk dari belakang. Tetapi hatiku seolah meradang ketika cintamu hanya untuk Rama seorang.
Terlalu pengecut menurutku seorang Rama yang katanya putera mahkota Ayodya tetapi menghadapi raksasa Rahwana saja tidak ada daya. Entah apa yang kau cinta dari dia. Wajah tampan rupawan, tutur kata bak cendekiawan, otak cemerlang, atau badan tegap nan kekar sempurna? Itukah? Dengan segala kelebihannya tapi tak bertanggung jawab sebagai suami? Tak bisa melindungi seorang istri yang setia menanti di taman penyekapan seorang diri? Dan malah menyuruh aku yang tak dikenal menyelamatkanmu? Shinta..apa yang kau lihat dari Rama? Kenapa kau sangat mencintainya? Tidakkah kau sempat melihat aku yang mencoba menahan panas api ketika pergi menyelamatkanmu? Katakan aku tak tulus menolongmu. Pamrih bisa saja kupinta. Tetapi hatiku tak bisa. Tak bedalah aku dengan kata munafik jika memang begitu. Sudah jangan pikirkan itu. Biar aku menjaga hatiku. Melihat manis senyummu saat kubebaskan dan menuju Ayodya sudah cukup bagiku. Kumohon pada dewata agar kau jangan lagi sendu. Karena air matamu tak ubahnya garam yang menabur lukaku. Perih.
Sayang kau tak pernah mendengar mohonku. Atau mungkin dewata belum puas mencobaimu? Kala kau mengiba pada Rama, meyakinkannya bahwa kau masih suci. Tak ada cairan yang tertukar, tak sedikit pun tersentuh oleh Rahwana. Air matamu menganak sungai. Mengaliri luka hatiku, makin perih hingga hampir mati rasa. Mati rasa untuk menganggap Rama tak lagi menjadi kawan. Apalagi ketika dia menyuruhmu membakar diri untuk membuktikan kesucian. Pasangan bukannya seharusnya saling percaya? Jika kepercayaan itu telah tiada apakah kau pikir akan terus baik-baik saja? Cintamu itu buta, bodoh atau tulus, Shinta? Susah aku membedakannya. Ketika api tak sanggup membakar tubuh sucimu, hingga Rama akhirnya percaya, dan astaga…kau berlari memeluk Rama dengan bahagia. Kau ini gila atau mengada-ada? Sendumu tampak jelas di mataku. Meski kau pasang topeng tawa menutup batin yang kecewa. Shinta oh Shinta..di sini ada dua yang mencintaimu dengan sepenuh jiwa. Kenapa kau malah memilih dia yang cintanya pernah tak percaya? Pernahkah kau terpikir tulus cinta seorang Rahwana yang begitu dewasa menghormatimu sebagai wanita dengan tak menyentuhmu meskipun bisa? Atau wujud cinta dariku yang mengeluarkanmu dari Alengka dengan sekujur tubuh menahan panas api membara bak dimakan neraka?
Ijinkan sekedar bertanya melalui surat ini, Shinta. Apa karena kita berbeda? Apa karena kau manusia, Rahwana raksasa, dan aku…seekor kera?
Dari aku,
Hanoman
Ditulis oleh : @franc3ssa
Diambil dari http://justcallmefrancessa.wordpress.com
No comments:
Post a Comment