09 February 2013

Surat #DuaHati @fairyteeth dan @Inirudy

#DearL, Don’t Judge Me!

Dear L,

Aku membaca suratmu sambil tersenyum kecil. Aku tipe orang yang sangat terbuka, ketika aku menyukai seseorang (bahkan belum cinta ya..) aku akan dengan senang hati menyimpan foto-foto atau bahkan videonya di galeri foto handphone ku, kalau di wallpaper tentunya disiapkan untuk diisi oleh orang yang sangat dekat di hati. Tidak harus selalu pacar, bisa keluarga, sahabat, atau bahkan teman sekolah. Tapi kalau pas punya pacar, udah pasti walpaper dan bahkan background whatsapp ku pun, memajang wajahnya… <3 Maaf saat ini fotomu tidak terpampang di wallpaper iPhoneku, kecuali kamu ingin jadi someone specialku…

Ah karena kamu menyinggung soal share di social media, aku jadi teringat betapa social media sedikit banyak mempengaruhi kehidupan kita. Bagaimana social media mempengaruhi pola pikir seseorang dalam menilai orang lain. Aku sebagai seseorang yang hubungannya pernah beberapa kali gagal karena socmed, akhir-akhir ini sering merasa ingin diam saja. Gak ada hasrat untuk cuap-cuap terlalu sering lagi. Aku suka merasa serba salah. Socmed itu kan hanya media, tidak berarti sesuatu yang kita tuliskan itu lantas menggambarkan pribadi kita. Lalu kalau dibilang gitu, nanti di cap bohong, atau pencitraan.. Pencitraan itu sendiri kan gak harus selalu berkonotasi negatif! Aku jadi males.

Socmed juga membuat aktifitas stalking semakin mudah. Informasi-informasi yang sebelumnya mungkin baru bisa didapatkan setelah ngobrol berjam-jam dengan seseorang, sekarang bisa didapat hanya dalam hitungan menit atau bahkan detik. Berbekal jari dan konektifitas, kita bisa mengetahui segala sesuatu tentang orang yang ingin kita “stalk”. Bukan hanya tempat tanggal lahir, segala hal detail seperti pernah bersekolah dimana, kerja dimana, bahkan rumahnya dimana. Pernah pacaran sama siapa, dia suka apa, dan untuk sekedar mendapatkan foto-fotonya aja mudah banget! Semua disediakan di dunia maya ini.

Menurutku itu mempengaruhi cara kita memandang seseorang. Kalau misalnya twit, orang yang galau di twitter, bukan berarti kesehari-hari nya juga galau. Atau orang yang terlihat sangat manja, manis bisa saja justru sebenarnya sangat mandiri. Channel-channel itu dibuat agar kita bisa share, kadang ada sisi kita yang ingin “nyampah” atau mengeluarkan sisi yang selama ini gak bisa dikeluarkan dalam bentuk nyata di kehidupan sehari-hari, apakah lantas dia menjadi seseorang berkepribadian ganda?

Aku capek di judge sedemikian mudahnya hanya berbekal melihat-lihat track record conversationku di social media. Kalau jaim, nanti salah lagi, cablak salah juga. Apalagi ketika aku tahu ada beberapa orang yang memantau akunku. Tapi, kalau aku lantas diam dan tidak bercuap-cuap di kanal media itu lantas aku kemudian hanya hidup demi menyenangkan orang lain lagi? (sebagaimana masalah utamaku selama ini). Lalu aku di cap menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri.

Ah kusut! Maaf ya L, aku jadi curhat panjang lebar. Kalau kamu punya pandangan berbeda atau malah pernah punya masalah juga karena social media kah?

Sincerely,

D.





Oleh @fairyteeth untuk @Inirudy
Diambil dari di-ta.com 



---



Surat balasan @Inirudy untuk @fairyteeth

#DearD, Tapi, Socmed yang Mempertemukan Kita

Dear, D.

Setiap sebuah penemuan dari pemikiran baru pasti selalu ada efek positif dan negatifnya. Pro dan kontra. Baik dan buruk. Begitupun social media, dalam hal ini Twitter. Bahkan sempat terlahir penggunaan istilah yang diprotes keras karena tidak sesuai penggunaannya, autis misalnya.

Sebenarnya tergantung masing-masing orang akan menggunakannya sebagai apa. Melalui facebook kita bisa “bertemu” lagi dengan teman-teman lama yang sudah tidak saling kontak. Meskipun, hanya melalui dunia maya. Tapi, kemudian “disalah-artikan” oleh beberapa pengguna sebagai tempat jual-beli. Kemudian, Facebook menjadi membosankan karena foto kita berubah jadi daster, handphone, atau bahkan underwear. Sigh.

Dari Twitter aku bertemu kamu. Tepatnya setelah bergabung dengan sebuah komunitas blogger (?) yang hits se Jakarta Raya. :lol: Karena kebetulan kamu salah satu penggiatnya. Sebelum bergabung menjadi (sebutannya) Kojakers, siapalah aku ini (emang sekarang siapa?). Bertambah banyak kenalan, teman, sahabat, informasi tempat menyenangkan, informasi event seru. Aku jadi mulai betah hidup di ibu kota.

Memang, melalui twitter kita dapat dengan mudah mengetahui atau lebih tepatnya menilai orang lain (dari sudut pandang kita) melalui timeline-nya. Padahal benar seperti katamu, twit galau belum tentu ngetwitnya sambil galau ; ngetwit di bak mandi sambil bermandikan shower. Yang ada henpon basah trus mati. Hehe.

Bener kata teman kita, Aad :








Kenapa sampai timbul stalking, karena kepo. Kepo adalah istilah keren dari penasaran (keren di mananya?) pada zaman sekarang. Memang sudah dari sananya salah satu sifat dasar manusia adalah penasaran. Tapi, kenapa tidak digunakan penasaran pada hal yang positif? Pertanyaan buat kita semua.

Lalu, apa kamu pernah berpikir untuk menonaktifkan semua akun social mediamu, D? 



Diambil dari inirudy.wordpress.com

No comments:

Post a Comment