Dear Edy / Sopi / Ian / Haerunnisa,
Semalem, waktu aku BBM Ayu, tiba-tiba Ayu nanya, “Edy nggak dibikin surat cinta juga?” Lalu, dengan dingin aku menjawab, “Siapa dia sampe harus dibikin surat cinta?” Abis itu Ayu maksa-maksa aku buat nulis surat cinta untuk kamu. Sampe ngancam-ngancam, kalo aku nggak nulis surat cinta untuk kamu, dia bakal ngobrak-ngabrik Dago. Serem, kan?
Jadi, aku pun menulis surat cinta ini dengan perasaan tertekan dan penuh keterpaksaan.
Edy, tau nggak? Aku sempet mikir kalau sebenernya kamu itu om-om. Mungkin pita suara yang dikasih Tuhan untuk kamu itu pita suara second milik om-om. Eh, nggak boleh dibecandain ya? Oke, aku tarik kembali kata-kata itu. Tapi, jauh sebelum itu, waktu tiba-tiba kamu komenin note facebook aku dan bilang tulisanku bagus, aku kan cenderung judging people by their facebook user name, jadi aku pun bales komen kamu, “Makasih, Pak.”
Dan nggak kerasa ya, waktu udah berlalu cukup jauh sejak hari itu. Kalau inget saat-saat pertama kita kenal dulu, rasanya hidup ini emang selalu punya cara yang ajaib dalam mempertemukan dua insan yang kesepian. Err… Maksudku, dua manusia galau yang saling membutuhkan dan melengkapkan. Nggak melengkapkan juga sih sebenernya, hanya mungkin… Mengisi kekosongan satu sama lain. Ah, apa pun lah.
Aku sendiri nggak ngitung ketepatan waktu soal berapa lama kita ngejalanin semua ini sama-sama (biar kesannya romantis gitu). Hal ini bikin aku menyadari bahwa waktu memang bukan skala utama untuk mengukur kenangan dan sebuah kebersamaan, melainkan intensitas kenangan dan kebersamaan itu sendiri.
Tapi, kalau harus dibilang intens, rasanya enggak juga. Kita bahkan nggak punya alokasi waktu yang jelas untuk kapan harus sama-sama dan kapan mesti sendiri-sendiri. Segalanya berproses secara alami. Ada masanya kita menjadi sangat saling peduli dan saling mengganggu setiap hari; ada juga masanya kita menjadi sangat saling merasa asing terhadap satu sama lain. Tapi akhirnya selalu ada jalan yang kembali mempertemukan kita di satu zona yang sama.
Oh, ya, aku turut berbahagia, tahun ini bisa kamu awali dengan hidup dan semangat baru, setelah tahun kemarin kamu merasa menjalaninya dengan separuh hati. Seperti yang Ayu bilang, hidup yang dijalani bersama passion itu bakal terasa ringan dan menyenangkan, lebih-lebih jika sampai menyangkut soal pekerjaan. Selamat ya, akhirnya kamu bisa jadi bagian dari Media Indonesia. It’s so cool. Semoga segalanya berjalan lancar dan selalu diberi kemudahan.
Berbicara tentang hal-hal yang ideal, aku selalu inget twit kamu yang entah kamu copas dari mana (lalu dikeplak) atau kamu terinspirasi dari kata-katanya siapa atau syukur-syukur itu kreasi kamu sendiri, yang aku sendiri lupa kayak gimana bunyi aslinya. Tapi esensinya aku rasakan sampai sekarang. “Kita jangan terlalu sering membandingkan hidup kita dengan orang lain. Sesekali coba berpikir bahwa setiap orang punya titik start yang berbeda saat memulai langkahnya.” Ya, kurang lebih, itulah yang berhasil kumaknai dan kemudian kurenungkan. Sampai sekarang.
Jadi, ketika kamu atau siapa pun bahkan diriku sendiri mulai mengeluh tentang pencapaian hidup, aku bakal meminjam spirit Mario Teguh untuk mengingatkan kembali kata-kata itu. Kata-kata yang ternyata berlaku dalam semua aspek kehidupan, nggak melulu soal pekerjaan.
Ah, udah mau jam sepuluh aja ternyata. Aku belum sarapan. Kamu udah? Yowis, kucukupkan suratku sampai di sini. Kalau ada kata-kata yang membikin kamu ngerasa berbunga-bunga, tolong diabaikan karena seperti yang aku bilang diawal, aku nulis ini di bawah tekanan Ayu, juga dalam kondisi baru bangun tidur unyu. Dan satu pesanku sebelum surat ini kuakhiri: jangan berhenti menulis!
Selamat hari Minggu, Edy / Sopi / Ian / Haerunnisa. Semoga hari Minggu-mu menyenangkan, seperti hari Minggu-hari Minggu yang pernah kita miliki dulu. ^^
Bandung, 10 Februari 2013
-D-
Ditulis oleh : @daaduun untuk @medysofyan
Diambil dari http://ininyadadun.wordpress.com
No comments:
Post a Comment