11 February 2013

Aku Yang Lelah


Untuk Dia yang Namanya Tidak Boleh Disebut…

Aku tak ingin menyebut namamu lagi. Aku telah berjanji pada diriku sendiri, seusai proyek penuh cinta itu berakhir, maka aku tak akan memaksakan apa yang memang tak perlu dipaksakan dan tak bisa dipaksakan. Bagaimanapun, Tuhan adalah pengambil keputusan dan waktu adalah penentuan.

Aku tak ingin menyebut namamu lagi. Aku paham, mungkin memang detak jantung kita tak ditakdirkan untuk seirama dan jemari kita tak tersuratkan untuk saling mengait. Dan mungkin aku juga bukanlah sepotong tulang rusukmu yang hilang. Aku hanyalah hamba sahaya yang bermimpi sedang dimabuk cinta, namun tiba-tiba harus terbangun, terlecut cemeti majikannya.

Aku tidak ingin menyebut namamu lagi. Bukan, aku bukannya membencimu. Aku hanya cukup tersadar ketika semakin aku merasa dunia ini begitu nyata, itu berarti semakin keras aku bermimpi dan semua yang tersisa hanya fiktif belaka. Satu lagi mimpi yang terajut bersama asa dan cinta, namun harus terkoyak dengan mesra oleh sabit dari Sang Pemilik Takdir.

Aku tidak ingin menyebut namamu lagi. Setumpuk kenangan yang menolak untuk dibakar, kini teronggok sepi di sudut ingatan. Tak ada yang berhasil menjadi abu. Padahal aku membutuhkan ruang itu untuk kenanganku yang baru. Kenangan tanpamu. Aku bersikeras ingin melupakanmu. Aku serius. Tapi ternyata hati ingin berlaku sendiri. Inikah yang dinamakan perang batin? Antara pikiran dan hati, mereka punya pendapatnya masing-masing, sama-sama tak mau mengalah dan selalu merasa tak pernah salah.

Aku tak ingin menyebut namamu lagi. Selama ini aku salah mengira bahwa kabar yang sebenarnya sudah kabur itu masih memiliki keabsahan. Dengan pongahnya, aku mempercayainya. Lalu hatiku meriap mendukungku. Sedangkan pikiranku mengumpatku, mengatai aku dungu. Katanya, untuk apa mempercayai sesuatu yang tak pasti? Jelas-jelas itu bukan dari mulutnya sendiri, kenapa aku harus percaya? Seharusnya dari awal aku mendengarkan pikiranku dan berlaku sesuai logika. Biarkan saja hati serak berteriak minta digubris, toh ini untuk kebaikannya juga, agar dia kelak tak tersakiti.

Ini bukan surat cinta. Ini surat pengunduran diri dari medan perang. Surat permintaan maaf karena aku kalah melawan keadaan. Kali ini, aku ingin berjalan sendiri, sesuai apa yang dulu aku dendangkan dalam lamunan keseharianku. Kini biarkan takdir yang menyatukan kita, kalau kita memang diizinkan untuk bersanding. Tinggal munajat yang bisa kita tasbihkan, kiranya kita dapat berdampingan kelak. Yang jelas, untuk saat ini, aku tidak ingin menyebut namamu lagi.



Solo, 8 Februari 2013 – 02.35 WIB

Aku yang Lelah


Oleh @azaliaaf Sumber: http://azalia-brontosaurus.tumblr.com

No comments:

Post a Comment