11 February 2013

Derap


Kami adalah anak-anak yang lahir dari rahim tua sisa aborsi para pencari rejeki Tuhan dengan memuaskan nafsu setan, bebal tak mau serahkan ruh yang telah ditiupkan.
Kami tumbuh besar bersama asap nikotin dari mulut-mulut gundik yang tak bisa lepas belenggu mucikari-mucikari rakus harta duniawi. Kami bermain di antara pemuda-pemuda haus kasih sayang orang tua hingga lari pada pelukan ganja.

Air sungai murni bagi kami layaknya zamzam yang harus ditemukan susah payah jauh di padang. Kami tak pernah mandi air zamzam. Kami mandi bersama merkuri. Kami tak pernah minum akua. Campuran timah dan tembaga jadi penghilang dahaga. Hingga jiwa inipun ikut membaja.  

Bangku-bangku sekolah didirikan hanya untuk anak orang-orang kaya, mereka yang mampu berseragam sutra dan bersepatu mengkilat. Dibangunnya tembok tinggi-tinggi mengitari kelas-kelas hingga kami harus memanjat, melongok, dan memanjangkan leher seperti angsa untuk tahu siapa itu Soekarno, apa itu teori relativitas, dan di antara murid-murid kaya tadi ada yang tidur pulas dan ada pula yang asyik melihat kelamin wanita dari telepon selularnya.  

Meski begitu, tak pernah sekalipun pikiran ini mengingkari, kami adalah anak-anak bangsa ini. Rasa memiliki ada begitu saja layaknya rumput liar. Meski terkoyak berkali dan terkoyak, akan tetap tumbuh. Dan tumbuh.

Ketika syair indah Padamu Negeri hanya dikumandangkan dari bibir-bibir penuh keterpaksaan saat upacara hari proklamasi, kami menyuntikkannya pada nadi, yang terendam di rawa-rawa, yang bertahan di tenda-tenda tentara gerilya.


Bagimu Negeri,

jiwa raga kami.

Oleh @ildesperados
Diambil dari http://abracupa.posterous.com

No comments:

Post a Comment