Evi Sri Rezeki – My Original Girl.
Chicky, Flicky, Piki
Aku menulis ini sambil mendengarkan lagu Danur yang kamu beri untukku.
Sadarkah kamu, kadang aku merasa seperti kucing kecil yang mengekorimu ke mana pun kamu pergi. Sedari kecil duniaku memang selalu terpusat padamu. Selalu kamulah yang pertama kulihat di bumi ini. Tahukah kamu, aku sering ingin menjadi sepertimu. Sering ingin bertukar posisi. Kamu selalu tampak bersinar untukku. Apa yang tidak bisa kulakukan—atau tepatnya takut—selalu bisa kamu lakukan. Kamu sedari kecil selalu pemberani. Karena itulah aku selalu memanggilmu original.
Vi, aku selalu menganalogikan kita sebagai batu dan permen. Aku adalah permen dan kamu batu. Aku permen yang di dalamnya batu, kamu yang batu di dalamnya permen. Begitulah kamu. Terlihat keras dan kuat di luar, namun begitu lembut dan manis di dalamnya. Sedangkan aku sebaliknya. Vi, kita telah saling mengenal segalanya, bahkan melebihi memahami diri sendiri. Apa yang tak bisa kuejawantahkan, bisa kamu jabarkan dengan tepat. Rasa, pikiran, dan keputusan.
Vi, hidup kita tidak pernah mudah. Mungkin itulah sejatinya sebuah petualangan. Penuh gelombang dan badai, memenuhi hasrat kita agar tak pernah bosan. Meski sering kali merasa tak sanggup terus berjalan. Orang-orang mungkin tak tahu, betapa sulitnya kita berproses untuk benar-benar menerima bahwa kita anak kembar. Karena kembar adalah anugerah sekaligus kutukan. Sebuah perjanjian seumur hidup untuk siap dibandingkan. Mereka mungkin menganggap itu sepele, tidak bagi kita yang mengalaminya. Apapun yang ada pada kita selalu dibandingkan. Seperti tak puas melihat kita sebagai satu individu yang merdeka dengan kehendak, nasib, dan takdirnya sendiri. Betapa lelahnya kita melewati proses itu. Kita bahkan tanpa sadar pernah saling membenci, dan akhirnya mengantarkan kita pada sebuah ketulusan dan cinta yang hakiki. Itu hanya satu bagian pahit dari hidup, agar kita mengenal senyap yang melebihi sunyi, yang pada akhirnya mengantarkan kita pada hingarnya bahagia.
Betapa kita terlahir menjadi dua adalah anugerah. Tak pernah aku benar-benar sendiri. Meski kadang ada jarak. Jarak yang sesungguhnya bukan jarak waktu dan tempat, tapi jarak rasa. Ternyata jarak itu hadir sebagai media untuk kita agar tak saling melukai. Vi, kita selalu saling menguatkan. Saat cinta dan impian menjadi pisau yang mengoyak, selalu ada tempat untuk kembali tegar. Ada pelukan untuk meredam risau, ada senyuman untuk menghalau gelisah.
Vi, kita sering berbagi kegalauan yang sama.
Ingatkah saat malam-malam kita lalui dengan pembicaraan frustrasi pada akademik. Nilai-nilai, tugas, dan skripsi. Rasanya kita waktu itu tak akan pernah merasakan lulus dan wisuda. Namun akhirnya bisa kita selesaikan dengan hasil yang menurut takaran kita memuaskan.
Atau saat cinta lagi-lagi membuatmu gamang. Kamu sering bertanya, “Bosen ya, Pa, dengernya?” dan aku selalu menjawab tidak. Kisah cintamu memang sering berulang, mendulang luka, tak juga membuatmu kebal. Lalu kukira aku tak akan lagi merasakan pedih itu, ternyata hidup memang tak bisa ditebak arahnya. Tapi sebesar apapun nestapa, kita tahu akan kembali berdiri, meninggalkan kisah lalu yang kita sepakati hanya akan jadi ingatan dan pelajaran, bukan sebuah kenangan.
Vi, kita selalu berbagi impian.
Sedari kecil kita adalah pemimpi. Pemimpi yang membuat orang selalu percaya kita bisa meraih dan mewujudkannya. Sayangnya kita pemimpi yang bodoh. Kita seringkali tak bisa membedakan antara impian dan keinginan. Kita memilih menggapai keinginan-keinginan yang menyaru jadi impian. Hingga kita tak pernah fokus, lalu baru menyadari waktu telah lama berlalu. Ah, untungnya tak ada yang sia-sia di dunia ini. Semua pengalaman itu bisa kita jadikan bahan cerita, meskipun terdengar seperti alibi.
Kini kita telah memilih jalan pasti. Sebuah taman bermain penuh fantasi dengan petualangan paling seru. Kita telah memilih menjadi penulis. Perjuangan belum seberapa, tapi kita telah sepakat tak akan pernah menyerah. Seperti tokoh fiksi yang kita hempas dengan berbagai badai, namun akhirnya mencapai kegemilangan.
Vi, maaf ya. Aku sering meninggalkanmu sendirian di rumah. Padahal aku selalu marah dan melarangmu keluar rumah dari dulu. Aku tahu betapa sedihnya ditinggalkan. Seperti saat kamu berkali-kali memilih kos. Vi, aku selalu ingin menjadi seperti ibu bagimu, agar aku bisa menjadi teduhnya rumah.
Vi, sudah subuh. Adzan sudah terdengar jelas di rumah kembar kita. Aku ingin lelap sejenak, sebelum dibangunkan putri cantik kita yang setiap membangunkanku persis penyu penggigit. Nanti akan kubuatkan kalian sarapan nasi goreng, lalu kita bercerita sambil terkantuk-kantuk di pagi hari, sedangkan Rasi ribut minta dibelikan sepasang hamster.
Kututup perjumpaan kata kali ini dengan sebuah puisi yang pernah kuberikan padamu:
Serupa Kita
Seperti menatap cermin yang tak sempurna
Jiwa kita yang dipaksa berpisah dalam dua raga, berkelana dalam dunia yang sama
Kita menyulam dongeng yang berbeda
Serupa ruh yang menghidupkan dua kutub
Kita selalu ingin bersama
Aku tak mungkin tersesat saat ingin pulang, karena napasmu adalah kompasku untuk kembali
Tapi aku tak akan selamanya menjadi rumah untukmu
Karena perpisahan selalu menjadi keniscayaan
Jiwamu jiwa pengembara
Jiwaku jiwa pengelana
Mari kita bertemu, untuk berbagi kisah
Karena sebenarnya tak ada kita, yang ada hanya aku dan dirimu dalam wujudmu, juga kamu dan diriku dalam wujudku.
Ditulis oleh : @evasrirahayu untuk @EviSriRezeki
Diambil dari http://tamanbermaindropdeadfred.wordpress.com
No comments:
Post a Comment