Kepada Jati,
Surat ini kutuliskan untukmu, beberapa saat setelah aku hilang, dan kembali ke tanah. Sebagai tanda bahwa aku baik-baik saja, tanpa sesal sedikitpun melanda, meski di sini sepi rasanya.
Siang ini panas sekali, ya? Tunggu, bukan hanya hari ini, kemarin dan kemarinnya lagi juga begini. Minggu lalu juga. Bahkan hampir satu bulan terik menjadi begitu menghantui.
Jati, itu yang jadi alasan terbesarku meninggalkanmu. Bukan karena aku tidak cinta, atau bahkan tidak mau berjuang melewati kemarau hingga masanya tiba, justru aku begini karena aku cinta, sangat cinta. Kamu tidak hanya sekadar teman, tapi juga keluarga yang melebihi segala. Setiap anggota dalam keluarga punya tugas masing-masing dan tugasku adalah ini; menggugurkan diri.
Jangan salahkan Dia karena terik yang disuguhkan, sudah resiko kita tinggal di daerah tropis seperti Indonesia. Jangan pula salahkan Si Asam Absisat yang membantu absisi-ku, dia sudah bekerja keras dan itu memanglah tugasnya, menggugurkanku untuk menyelamatkanmu.
Bagaimana transpirasimu kini, Jati? Sudah banyak berkurangkah semenjak kepergianku? Kuharap begitu. Teruslah berjuang mempertahankan dirimu, ya. Jangan buat pengorbananku meninggalkanmu menjadi sia-sia.
Oh ya, kamu tidak kesepian, kan? Sebelumnya aku sudah berpesan pada Tuan Angin dan Adik Burung untuk menemanimu hingga kemarau selesai dan penggantiku akan datang merimbunkanmu.
Jati-ku Sayang, sudah dulu suratnya? Badanku rasanya semakin lama semakin lemas, nih. Kurasa aku semakin layu. Ini pertanda usiaku tidak lagi lama.
Salam untuk dedaunan barumu nanti, meski hijaunya melebihi aku, jangan sampai melupakanku, ya!
—Dedaunanmu yang (pernah) hijau.
Oleh @khaidianty
Diambil dari http://khaidianty.tumblr.com
No comments:
Post a Comment