31 January 2013

Kepada Tuan

Kepada Tuan

Semoga menjadi hari baikmu ketika menerima sapaku lewat sepucuk surat ini. Akan menjadi hari baikku pula ketika kamu merasa senang dengan cerita yang aku tuliskan. Apa kabar, Tuan? 

Terima kasih telah menjadi teman yang baik selama ini. Terima kasih telah menyapa penyepi dengan sederet cerita menyenangkan hingga tawa pun berebut didendangkan.

Kapan kita bertemu? Lupa. Iya aku lupa. Namun aku meyakini bahwa aku pernah bertemu denganmu di suatu tempat. Kemudian membawaku untuk kembali mengingat tentangmu dan bertukar banyak cerita denganmu. Atau de javu? Entahlah, aku tak tahu apa-apa tentang itu. Sepanjang aku bisa menjalani dengan sebaik-baik aku memiliki rindu, aku tak punya banyak alasan untuk menggugat segala cerita yang telah terjadi. Dan, psssstttt… jaga rahasiaku. Bisa jadi, aku hanya menceritakan padamu. Jika aku kemudian tahu ada yang mendengar itu, ah… kamu…. 

Oh iya, ngomong-ngomong dahsyat sekali radarmu, bisa menemukan aku. Ya, aku si penghuni sunyi, yang lebih suka mencumbui sepi. Kemudian keluar membawa-bawa tawa yang dirajut sendiri untuk menghibur diri dan mereka yang mendekati sepi. Aku tak mau siapa pun berlama-lama merasai sunyi sepertiku. Anggap saja, aku sedang belajar menghibur. Wajar saja bukan jika kemudian aku tak terlalu pandai menghibur, menyulut tawa dengan sengaja seperti yang biasa kamu lakukan. Bisaku hanya sebatas mendengarkan kemudian menikmati. Ah, sangat oportunis. Tapi itulah bisaku, saat ini 

Kamu tahu? Aku suka sekali mendengar tawa, melihat manisnya senyum dan menikmati pipi bersemu merah yang kemudian merona. Ya, segala yang aku tak pernah mendapatinya dalam sunyi. Segala yang selalu membuatku ingin berlari, mencari-cari dan terbang entah menuju negeri mana untuk mendapatkannya. Untuk apa? Untuk kemudian aku kenalkan kepada mereka para penyepi bahwa di luar sana, ribuan tawa akan menyambut mereka. Seperti kamu, yang selalu suka mengajak semesta tertawa.

Setidaknya, terkadang aku ingin bisa memohon agar waktu bisa lebih panjang ketika cerita-cerita itu memenuhi telinga. Ah, iya, meski aku tahu ketika bosan menyergap, “lagu”mu selalu begitu. Tak apa, pun aku tak punya hak memaksa. Begitu kan? Bagaimana pun aku tahu kamu sudah sebaik-baik teman yang sungguh pengertian. Bahkan, kadang terasa berlebihan.

Memang belum banyak hal telah kamu bagi, namun aku tetap merasainya berarti. Seperti lahir kembali dan belajar menikmati setiap rasa yang ditawarkan semesta. Tak lagi mengutuki rasa-rasa yang tak seharusnya dibenci. Ya, sebegitu menyebalkannya aku, menganggap garis hidup aku yang menulisinya sendiri. Ah, keterlaluan.

Iya, se-terlalu itu pula aku kepadamu. Tak bisa sebaik-baik kamu peduli padaku. Meski sesungguhnya aku pun tak pernah mengira ternyata sepeduli itu aku padamu, Tuan. Namun tak sebaik-baik yang aku rasakan bisa aku katakan, ungkapkan. Maaf, jika terlalu banyak kecewa yang kemudian menetap di hatimu sebab aku, tentang aku dan selalu saja aku. Namun sungguh, aku tak pernah dengan sengaja menoreh sedih di hati putih, milikmu. Sungguh aku tak pernah sedikit pun dengan niat mengirimkan luka memenuhi hatimu. Sungguh.

Hingga kemudian, mungkin jeda yang terpilih untuk mengisi beberapa waktu belakangan. Serta beda yang kemudian kerap menyulut lelah dan kemudian sunyi merenggut tawa-tawa yang telah terbiasa ada. Kenapa? Jika pun ada yang ingin dikata meski terasa menyakitkan, tak apa, katakan saja. Asal kamu tahu, aku tak suka tawa semu, Tuan. Sekali lagi, tak suka. Boleh aku katakan sekali lagi kepadamu? Aku hanya ingin mendengar yang sesungguhnya… 

Atau… aku terlalu menyebalkan? Ah iya. Mungkin. Sepertinya, kepadamu pun aku tak bisa menghentikan semua itu. Menghentikan semua hal yang berujung pada rasa kesal, sebal. Semua karena aku yang terlalu bebal ya?  Apakah kamu masih memilih bertahan, Tuan? Jika anggukan darimu yang aku dapatkan, terima kasih seperti apa yang harus aku sampaikan kepadamu? Tak akan cukup dengan memberimu seribu cerita lucu atau perilaku absurd yang kerap membuatmu berpikir bahwa aku sangat dungu. Aku biarkan. Asal ada tawa yang kemudian berdendang tanpa diundang.

Aku dan kamu banyak berbeda Tuan. Aku tak perlu mengulitinya satu per satu. Aku hanyalah satu yang menyapamu sebagai figuran. Tak punya peran penting apa pun. Oh, tidak! Aku adalah pemeran antagonis dalam kehidupanmu. Ya, antagonis yang akan memenuhi ceritamu dengan segala hal dungu yang akan membuatmu terus menggeleng-gelengkan kepalamu, kehabisan komentar. Kemudian dari jauh aku tertawa menyaksikan kamu yang hendak mengibarkan bendera putih. Tenang, aku tidak kejam. Aku hanya memiliki peran antagonis dalam kehidupanmu. Itu saja.

Bagaimana pun antagonisnya aku, semoga masih kamu berikan hak untuk duduk bersama denganmu. Bertemu mata. Kembali mendengarkanmu bercerita, apa saja. Mengangguk-angguk memahamkan setiap kata yang meluncur dari bibirmu. Tanpa kelu.

Jadi, bagaimana dengan impianmu saat itu? Aku harap suatu ketika kamu bisa menggenapkannya menjadi kenyataan. Aku tahu, kamu bersungguh-sungguh menggapainya. Dan orang sepertimu, insyaAlloh lebih mudah mendapatkan ridho dari Sang Maha Pemberi Rezeki. Dengan segala kebaikan dan kesabaran yang kamu punya, insyaAlloh semua perjalanan terasa lebih mudah. Semoga semangatmu terus tumbuh dan tak terbiarkan meluruh. Seperti yang kerap kamu katakan kepadaku, tak perlu banyak mengeluh.

Sampaikan salamku kepada hatimu, agar tetap terjaga dari kecewa yang tak pernah aku sengaja.Sampaikan salamku kepada sehatmu, agar tetap terjaga tak meluruhkan tawa-tawa yang selalu aku suka.

Oh iya, jika kemudian surat ini benar-benar terbaca olehmu, Tuan, aku tak melarangmu memberikan balasannya. Namun, dengan caramu. Aku ingin tak ada jejak pada lembar ini. Aku hanya ingin, surat ini menjadi kejutan untukmu. Sebab itu pula, jika aku menerima balasan, aku ingin mendapatinya sebagai kejutan.

Terima kasih, Tuan atas segala waktumu. Atas segala indera dan rasa yang kamu relakan untuk sekejap menikmati serangkai aksara dalam suratku. Semoga bisa menjadi seindah-indah kenangan yang mungkin hanya bisa aku sematkan dengan cara seperti ini. Selamat menyemai mimpi kembali, Tuan 

Aku,

penyepi penyuka tawamu 


Oleh @wulanparker
Diambil dari http://lunastory.wordpress.com/

No comments:

Post a Comment