31 January 2013

Om - Tante


Teruntuk kalian yang memutuskan berpisah dengan jalan cerai.

Hai, om-tante. Kali ini ide saya memilih kalian. Siapapun itu. Di manapun kalian berada. Semuanya berawal dari percakapan yang saya dengar beberapa waktu lalu. Perihal anak broken home yang kehidupannya (bisa dibilang) kacau. Tidak disiplin, suka bolos sekolah, suka berbohong.
Om-tante, apa yang kalian rasakan saat sedang asik-asiknya memadu kasih? Di mana om berjuang untuk mendapatkan hati tante. Lantas tante dengan lapangnya menerima om sebagai kekasih. Waktu berjalan, kalian saling menyamankan satu sama lain. Dengan amat sangat matang, kalian memutuskan menikah. Om pergi menemui orang tua tante. Dan voila! Kedua keluarga menyetujui hubungan kalian dan menyegerakan peresmian. Sebut saja, pernikahan. Ingat bagaimana saat kalian fitting baju pengantin, memesan undangan, katering makanan dan menyusun daftar kawan dan kolega yang akan kalian undang? Masih ingatkah itu semua? Apa yang kalian lakukan semalam sebelum upacara sakral itu berlangsung? Saling memberi kabar kah? Atau malah terjaga sampai waktunya tiba? Masih ingat, om, tante? Saat hari H di depan mata, seberapa tampan dan cantikkah kalian berdua? Pangling? Wajar. Yang saya dengar sih pengantin memang dibikin beda dari biasanya. Entah mitos atau gosip. Sampai tiba pada saat-saat yang menjadi jantung dari upacara ini. Ijab qabul. Dalam satu tarikan nafas. Saya selalu membayangkan jika saya ini seorang lelaki, sebagaimana lihainya lidah saya dalam melafazkan satu kalimat penyatu yang nantinya akan menghalalkan hubungan kita. Tante, bagaimana rasanya setelah om dengan lancarnya berhasil melafazkan itu semua? Lega kah? Pasti :)

Bulan demi bulan berlalu. Om berusaha menorehkan karya di rahim tante. Kalian berdoa. Agarnya buahnya matang. Suatu hari tante mual-mual. Kalian bahagia. Ini merupakan tanda, karya kalian akan segera bernyawa. Waktu terus berlari. Sembilan setelahnya, buah kalian lahir ke dunia. Kali ini lelaki. Calon pejantan yang lebih dari tangguh. Hidup kalian makin terasa sempurna. Dunia bagai milik kalian bertiga. Larinya waktu semakin cepat. Om-tante berbuah lagi. Sekarang perempuan. Calon putri yang cantiknya menandingi bidadari khayangan.

Tahun demi tahun berlalu. Mulai ada kerikil yang menghadang. Om-tante bertengkar kecil. Dengan anak-anak yang mengintip dari kamar. Mereka bingung. Salah apa sampai terjadi keributan itu. Lama kelamaan pertengkaran semakin sering. Bahkan tumpahnya air mata pun menjadi bagian penting. Anak-anak semakin bingung. Sedih. Tak mengetahui keadaan macam apa ini.

Om-tante terus bertengkar. Satu kalimat saja bisa memancing kemarahan. Ternyata bukan hanya batu kerikil yang menghadang kalian. Ada batu gamping, konglomerat, batu apung dan segala batu-batuan lainnya. Kalian seakaan sulit untuk dipersatukan lagi. Tumpukan batunya sudah terlalu tinggi sehingga tak ada cara yang bisa meruntuhkannya. Kecuali dengan berjalan sendiri-sendiri. Dengan berjuta-juta pertimbangan, kalian memutuskan untuk berpisah. Dalih kalian adalah demi kebaikan bersama. Bersama siapa yang kalian maksud?  Anak-anak kalian tentu tak bersama lagi. Sampai pada akhirnya kalian benar-benar berpisah. Apakah sebelum memutuskan semuanya, kalian pernah bertanya pada anak-anak, setujukah mereka dengan jalan ini? Pernah kah? Atau malah sama sekali tak sempat? Atau kalian malah sengaja tak meminta persetujuan mereka karena kalian pikir mereka hanya anak kecil yang tak seharusnya dimintai persetujuan atas ini?

Semuanya dimulai. Kalian tak bersama lagi. Masing-masing sendiri. Kalian terpisah. Pun anak-anak kalian. Keceriaan memudar. Batin mereka menggusar. Kenapa harus ada yang berpisah padahal Tuhan inginnya kita menyatu? Coba om-tante pikir kembali. Percayalah, taka da perpisahan yang benar-benar baik. Semuanya tergantung waktu.

Salam,
U


Oleh @ulfaground
Diambil dari http://ulfarizkiana.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment