Dear Kezia Christa Freyna Naomi Firstha,
Aku hapal namamu lho. Hahahaha.
Ingat pertama kali kita bertemu delapan tahun yang lalu? Kamu—sebagai anak pindahan—melangkah masuk ke kelas tanpa ragu. Kamu cantik, kamu pintar, suaramu merdu. Dalam seminggu saja kamu sudah menjadi ratu. Semua guru mengelu-elukan namamu.
Tapi tidak denganku. Aku membencimu.
Aku membencimu yang lebih cantik daripadaku. Aku membencimu yang suka sok pintar di depan guru—oke aku tahu kau sebenarnya tidak bermaksud begitu. Aku membencimu yang selalu selangkah lebih maju di depanku. Rasanya aku ingin menendangmu jauh-jauh dari hadapanku.
Well, itu kan dulu.
Lucu ya? Musuh-musuhan aneh kita malah berakhir menjadi pertemanan penuh rasa. Kita suka tertawa keras-keras dimana-mana. Kita suka membicarakan kakak kelas tampan—untungnya kita setipe. Hahaha. Kita juga suka membicarakan anak aneh di sekolah. Akhir-akhir ini aku menjadi berpikir bahwa seharusnya kita harus berkaca. Kita juga aneh, kau tahu? Hihihi.
Kamu, adalah salah satu orang yang membuat masa SMA-ku berwarna. Kamu adalah orang yang mengenalkanku arti perbedaan.
Perbedaan?
Kej. Kamu ingat waktu aku ke rumahmu? Kita masak sup krim bersama saat itu. Sewaktu aku pulang, ibuku menanyakan aku sudah makan atau belum. Waktu aku bercerita bahwa aku sudah makan di rumahmu, kau tahu reaksi ibuku?
“Kamu makan di rumah Kezia? Yakin nggak najis? Kezia punya anjing kan? Nanti kalau anjingnya ternyata keliaran di rumah gimana? Alat makannya najis dong? Lain kali jangan makan di sana lagi deh.”
Aku hanya bisa melongo. Tidak paham cara berpikir ibuku. Mendadak aku menyesal pernah bercerita pada ibuk kalau kamu punya Cihua—anjing betinamu yang super galak itu.
Aku tidak pernah punya masalah dengan perbedaan keyakinan kita. Pancasila saja berkata bahwa Tuhan itu Maha Esa. Hanya saja kita menyebut-Nya dengan cara yang berbeda. Kita menyembah-Nya dengan cara yang berbeda. Kita meminta pada-Nya dengan cara yang berbeda.
Saat aku bersujud, kamu menengadah. Padahal detik itu kita meminta hal serupa; bahagia bersama. Suatu saat kita berjalan bersama, lalu terpisah di persimpangan saat adzan memanggilku atau alarm pengingat katekisasimu berbunyi. Padahal niat kita sama; mendekat pada Pencipta.
Kej, tidak pernah ada yang salah dengan keyakinan. Mungkin ini gila, tapi ada fantasi liarku yang berbisik-bisik bahwa selama ini kita hanya bercermin. Memuja satu Tuhan. Sekat-sekat yang memisahkan kita itu sebenarnya hanya kaca-kaca transparan yang lama-lama akan retak, lalu pecah. Lalu tangan kita akan bisa saling menyentuh sepenuhnya.
Kamu ingat waktu dengan iseng kita saling membandingkan?
“Di aku sih Adam dan Hawa. Terus makan buah khuldi.”
“Kalau aku Adam dan Eva. Terus makan apel.”
“Kalau aku Nuh.”
“Noah”
“Yusuf.”
“Joseph.”
“Daud.”
“David.”
“Isa.”
“Jesus.”
Kita saling menatap dalam hening. Lalu tertawa lepas sembari saling menggenggam tangan seperti biasa. Simpel sekali persahabatan kita; Tuhan itu dekat. Lebih dekat dari urat nadi kita. Menatap persahabatan kita yang penuh bahagia.
Salam cinta,
aku
oleh @tullatul
diambil dari http://gulajawadua.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment