Pasir Putih, 17 Januari pagi hari
Kurang lebih delapan ribu tujuh ratus enam puluh jam lalu
sebuah ingin tercipta. Kurang lebih tujuh ratus dua puluh jam lalu
rencana dibuat dengan masih sangat mentah. Lebih dari angka itu sebuah
penantian lahir untuk melatih kesabaran. Dan tiga puluh enam jam lalu
sebuah perjalanan dimulai.
Ratusan kilometer ditempuh. Paling sedikit dua puluh empat
stasiun dilewati. Menuju tempatmu, dambaan setiap hati. Entah yang
memang sedang bahagia, yang sedang ditumbuh tunas-tunas cinta, yang
sedang mencoba menyempurnakan suka dengan caranya, atau yang sedang
mencari cita ditengah hubungan yang itu-itu saja, bahkan yang sedang
belajar menerima bahwa cinta ada banyak jenisnya.
Ketika kau masih sibuk menyiapkan diri, mematut tiap inci di
hadap cermin, memoles rona wajah kejinggaan, di sisi lain sana ada
hati-hati yang juga sibuk membekali diri siap menemuimu.
Pukul empat dini hari, kaki kaki kerdil memaksakan dirinya
untuk kuat dalam perjalanan. Dengan satu tekad; hanya untuk melihat rona
semu pipimu. Kegelapan bukanlah musuh terberat, menyerah begitu saja
pada apa yang ingin dicipta ialah seburuk-buruknya pekerjaan.
Kemudian semesta mengolok. Diturunkan rerintik hujan agar bumi
kelimpungan mencari keteduhan. Disusul kabut yang enggan turun
cepat-cepat. Mungkin mereka ingin perhatian bumi tercurah kepada
selainmu.
Kaki-kaki tidak kelelahan. Tangan dan jemari tak juga lepas
merengkuh badan mencari kehangatan. Penantian masih dalam masanya,
hingga waktu menunjukkan kuasa. Kau belum juga menampakkan serat
keemasan.
Bumi bukan menyerah. Hati-hati tak semudah itu melepas angan.
Terkadang, kenyataan yang tak sejalan dengan harapan memang hanya perlu
di-iya-kan.
Penanjakan 2, Bromo, 16 Januari 2013, matahari malu malu terbit diselimuti kabut
Oleh @valendgranith Sumber: http://shandikapuri.tumblr.com
No comments:
Post a Comment