21 January 2013

Surat untuk Cinta yang Malu-Malu

Pasir Putih, 17 Januari pagi hari
Kurang lebih delapan ribu tujuh ratus enam puluh jam lalu sebuah ingin tercipta. Kurang lebih tujuh ratus dua puluh jam lalu rencana dibuat dengan masih sangat mentah. Lebih dari angka itu sebuah penantian lahir untuk melatih kesabaran. Dan tiga puluh enam jam lalu sebuah perjalanan dimulai.
Ratusan kilometer ditempuh. Paling sedikit dua puluh empat stasiun dilewati. Menuju tempatmu, dambaan setiap hati. Entah yang memang sedang bahagia, yang sedang ditumbuh tunas-tunas cinta, yang sedang mencoba menyempurnakan suka dengan caranya, atau yang sedang mencari cita ditengah hubungan yang itu-itu saja, bahkan yang sedang belajar menerima bahwa cinta ada banyak jenisnya.
Ketika kau masih sibuk menyiapkan diri, mematut tiap inci di hadap cermin, memoles rona wajah kejinggaan, di sisi lain sana ada hati-hati yang juga sibuk membekali diri siap menemuimu.
Pukul empat dini hari, kaki kaki kerdil memaksakan dirinya untuk kuat dalam perjalanan. Dengan satu tekad; hanya untuk melihat rona semu pipimu. Kegelapan bukanlah musuh terberat, menyerah begitu saja pada apa yang ingin dicipta ialah seburuk-buruknya pekerjaan.
Kemudian semesta mengolok. Diturunkan rerintik hujan agar bumi kelimpungan mencari keteduhan. Disusul kabut yang enggan turun cepat-cepat. Mungkin mereka ingin perhatian bumi tercurah kepada selainmu.
Kaki-kaki tidak kelelahan. Tangan dan jemari tak juga lepas merengkuh badan mencari kehangatan. Penantian masih dalam masanya, hingga waktu menunjukkan kuasa. Kau belum juga menampakkan serat keemasan.
Bumi bukan menyerah. Hati-hati tak semudah itu melepas angan. Terkadang, kenyataan yang tak sejalan dengan harapan memang hanya perlu di-iya-kan.


Penanjakan 2, Bromo, 16 Januari 2013, matahari malu malu terbit diselimuti kabut

Oleh @valendgranith  Sumber: http://shandikapuri.tumblr.com

No comments:

Post a Comment