21 January 2013

Pilih Saja Aku

Gendis sahabat terbaikku. 

Sudah, sudah. Kamu tak usah terharu begitu menerima surat dariku. Anggap saja aku sedang tak sibuk dengan tugas kuliahku yang padat dan kebetulan tak ada kerjaan. Makanya jadilah sebuah surat ini untukmu. 

Oh, ya bagaimana kabar Om dan Tante? Mereka masih sering bepergian keluar kota untuk mengurus bisnisnya kah? Aku tau, pasti kamu merasa kesepian dirumahmu. Aku hafal, karena dulu seringnya kamu mengajakku jalan-jalan keluar rumah untuk sekadar menonton film atau hanya makan. Belum berubahkah kebiasaanmu, Gendis? Bahkan setelah kamu menemukan lelaki yang kamu harap-harakan sedari dulu? Hahaha, lucu juga kupikir lelaki seperti Anggara yang selalu terlihat serius mampu meladeni kamu yang urakan, manja dan selalu saja berisik. Angin apa yang membawa kalian saling jatuh hati, sampai-sampai kalian bisa bertahan selama hampir 3 tahun.

Tapi bagaimanapun, pada Anggaralah aku menitipkan kamu. Kukatan waktu dia menghadiri wisuda kelulusan SMA kita. Aku akan melanjutkan kuliahku ke Surabaya dan kamu tetap di Yogyakarta mengikuti Anggara yang sudah setingkat diatas kita. Tidak ada yang perlu ku khawatirkan karena kulihat kamu begitu dijaga olehnya. Begitu dilindungi. Pun denganmu yang selalu memancarkan rona bahagia dan tawa lepasmu ketika berada didekatnya. 

Aku hanya bisa bahagia, untukmu Gendis. Walaupun dalam hati terdalamku sangat kusesalkan kenapa kamu tidak denganku saja. Seperti pintaku padamu jauh-jauh hari sebelum kamu mengenal Anggara. Kamu bilang, akan lebih nyaman kalau kita hanya bersahabat saja. Aku rela menjadi sahabat terbaikmu kalau hanya dengan cara itu aku bisa selalu didekatmu, menjagamu dan melihat senyummu. Tanpa perrnah kuutarakan lagi rasa dihatiku yang semakin hari justru semakin bertumbuh dengan sendirinya. 

Termasuk ketika kau memutuskan untuk bersama Anggara, aku hanya bisa bahagia untukmu. Kuacak-acak rambutmu waktu itu dan berkata semoga Anggara tahan dengan kelakuan-kelakuan anehmu, salah satunya mengunyah sedotan yang habis kamu pakai minum. Kamu hanya menanggapiku dengan tertawa. Itu seperti baru saja kemarin ya, saat kita tengah sibuk-sibuknya mempersiapkan Ujian Nasional.

Tak terasa 3 tahun sudah berlalu, 3 tahun juga sudah aku merantau ke Surabaya untuk melanjutkan kuliahku. Salah satu alasannya taukah kamu, Gendis? Aku tidak bisa terus-terusan dan setiap hari melihatmu dan Anggara. Sedang cerita-ceritamu tentangnya saja sudah cukup membuatku miris. Dan selama 3 tahun pula Gendis, tak ada sosok perempuan yang menghapus bayanganmu dari pikiranku. Padahal berkali-kali kucoba membuka hati, nyatanya tetap tak bisa. Kepalaku dipenuhi kamu dan kamu.

Sudahlah, kutitipkan bahagiaku padamu dan Anggara. Aku tetap menjadi sahabat terbaikmu. Kita tetap saling memberi kabar. Namun akhir-akhir ini kabar darimu tak kudapatkan. Seringnya kau mengacuhkan sms dan telepon dariku. Pikirku mungkin kamu sibuk dengan praktek-praktek kuliahmu. Tetap kucoba berpikiran positif. Sampai akhirnya kau menjawab teleponku dan mulailah ceritamu tentang Anggara. Tentang Anggara yang begitu manis diawal kalian pacaran. Anggara yang sudah mengenalkanmu ke orang tuanya. Anggara yang sudah seperti kakak bagi adik-adikmu. Dan Anggara, yang intinya adalah calon suamimu. Calon suami yang belum saatnya, begitu katamu. Ditengah semua kebahagiaan yang kalian rasa, pun dengan restu orang-orang terdekat. Setega itu Anggara berselingkuh dibelakangmu. Bukan hanya sekali dua kali tetapi terlalu sering untuk sekadar kau mengingatnya. Kau begitu mudah memafkannya yang selalu berjanji tak akan mengulang hal yang sama. Namun tetap saja dia ulangi lagi. Seperti tak pernah jera, karena ia tau kamu pasti akan memaafkannya lagi. Atas dasar sayang dan cintamu. Juga karena hubungan kalian yang sudah sebegitu lama ditambah restu yang sudah kalian dapat. 

Untuk putus pun rasanya kamu tak mampu, ya Gendis. Mana mungkin kehadiranmu dihatinya yang sudah 3 tahun akan begitu saja terganti oleh datangnya perempuan lain. Ya, egomulah yang memaksamu untuk tinggal.

Aku tau kamu mungkin sudah mati rasa karena terlalu sering merasa sakit. Aku pun sakit mendengarnya Gendis. Pikirnya siapa dia, bisa menyakitimu sedemikan hebat? Setelah kupercayakan kamu, sahabat terbaikku padanya.

Andai kamu denganku dulu Gendis, tak akan mungkin kamu merasakan sakit yang seperti ini. Gendis, bukalah mata dan hatimu. Kamu bisa berhenti kapan saja kalau kamu lelah. Sini denganku saja. Aku mampu mebuatmu bahagia, melebihi kebahagiaan semu yang dia berikan. Tak peduli dengan seberapa lamanya hubungan yang sudah kalian jalin dan sebesar apa restu orang tuamu. Kalau kamu saja tersakiti untuk apa, Gendis? Percayalah Gendis, lelaki yang mencintai perempuannya tak akan mungkin tega dan sanggup untuk membagi hati. Bahkan berkali-kali. Sudah waktunya kamu berpikir dengan logika, tak melulu menuruti hati yang kadang terlalu naif pada sakit.

Minggu depan aku pulang ke Yogyakarta. Kuharap kita bertemu, tanpa Anggara. Karena kupastikan setelah selesai membaca suratku, selesai pulalah hubunganmu yang sudah sedemikan sakit dengan Anggara.

Jangan menolak, percayalah. Daridulu aku sangat menyayangimu. Izikan aku membuktikannya untuk menjagamu kali ini. Menjagamu dari rasa sakit yang memporak-porandakan hati dan harimu.

Sahabatmu yang sebentar lagi menjadi kekasihmu.

Adimas


Ditulis oleh : @enhanhanha
Diambil dari http://ernamardjono.tumblr.com

No comments:

Post a Comment