21 January 2013

Semoga Kamu Mengingatku


Perkenalkan, namaku Petrichor, the smell of dust after rain. Aroma udara sesudah hujan, kamu bisa mengartikanku seperti itu.

Bagaimana kamu bisa mengetahui keberadaanku? Kamu tahu aku ada, saat hujan turun dan sesudahnya. Menggodamu untuk menggerak-gerakkan hidungmu mencari-cari aku. Tapi aku sama sekali tak pernah bisa tampak di penglihatanmu, meski kamu bisa merasaku.

Tentangku, aku hanyalah bau tanah yang terkena hujan, perpaduan udara, air, debu, dan bakteri-bakteri. Namun sesekali aku bisa membuatmu menutup mata. Lalu aku bisa menjadi seharum masakan ibumu, atau serupa sisa keringat kekasihmu yang tertinggal di tubuhmu. Pun seperti air mata yang tak sengaja dikecap lidahmu, asin serupa itu. Aku bisa menjelma sewangi bunga-bunga yang semerbak namun aku juga bisa menjadi bau busuk yang tak diinginkan para pengungsi banjir.

Aku bisa menjadi apa saja, aku bisa membawamu berkelana, membawakanmu sepotong cerita yang telah meninggalkan jejak di ingatanmu. Lalu sesudah itu aku bisa memindahkan hujan ke bening matamu atau menghadirkan pelangi di situ dengan sama baiknya.

Namaku Petrichor.
Hari ini, aku akan menceritakanmu sedikit kisahku.

Pernah ada seorang gadis di bawah deras hujan, dia kuyup dan menggigil kedinginan. Hidungnya kemerahan karena berkali-kali digosok dengan kencang, berharap flunya segera reda bersama hujan yang turun. Sang Nona –kita sebut saja dia seperti itu– aku ingin sekali menggodanya, masuk ke dalam dirinya, mencari kenangan apa yang bisa kusajikan untuknya.

Sejenak di pikiranku, aku ingin mengganggunya dengan memutarkan adegan paling menyedihkan dalam hidupnya. Hujan adalah kesedihan, terkadang hanya itu yang diingat (sebagian) manusia. Kamu tahu, saat aku merasuk ke dalam dirinya, aku melihat matanya yang penuh tatapan kosong. Matanya menahan air mata dari mata air luka. Aku larut di situ, tergoda menelusuri ingatan-ingatannya.

Sang Nona, menyimpan sepi, sepi yang lebih sepi dari kesepian. Ada banyak kehilangan di hidupnya. Sesungguhnya, hatinya menyimpan banyak nama. Namun ketika hatinya memanggil, yang bergaung hanyalah hampa. Dia ingin didengarkan bukan sekadar didengar, dia ingin dipeluk bukan sekadar memeluk.

Ah ya, ada kalanya hidup disapa segala sedih. Perjuangan sepenuh hati yang terpaksa tak menghasilkan tujuan. Harapan-harapan yang dipatahkan di tengah jalan. Seolah dunia adalah kerumunan besar penuh lubang yang selalu berniat menjatuhkan dan semua yang dilakukan adalah kesalahan. Sang Nona, di titik itu.

Di tepi ingatannya, ada sebaris kalimat yang tak pernah dia ucapkan, “Bagaimana kamu memahami kesedihanku?” Mungkin didiamkan menunggu seseorang datang.

Bagaimana agar aku memahami kesedihanmu, Nona? Namaku Petrichor, sama seperti kesedihanmu, tak terwujud nyata, hanya terasa. Bukan seperti pohon yang bisa ditebang atau kekasihmu yang dapat dipeluk.
Bagaimana agar sesuatu yang hanya bisa dirasa dapat dipahami dengan baik? Bahkan tingkat pemahaman saja terkadang berbeda satu dengan yang lain.

Kamu tahu, waktu itu aku tak kuasa menjatuhkan setitik air mataku (mungkin kalau hujan menangkap basah diriku, dia akan menertawakanku). Kubawa sedikit aroma rerumputan dan kayu yang baru ditebang untuk Sang Nona, sedikit kesejukan pegunungan, sedikit kesegaran sisa embun semalam. Kuhangatkan dirinya dengan memutar salah satu ingatan terindahnya. Sang Nona yang penuh senyum di bawah senja. Memeluk hatinya semampu dan selama yang aku bisa. Membisikkannya, bahwa semua akan kembali baik-baik saja. Sebab kesedihan –sama seperti aku– akan berlalu, tak kekal. Sebab hujan mengenal pelangi dan akan berhenti. Sesudah kesulitan akan ada kemudahan.

Hujan pun berhenti, Sang Nona melangkah pergi. Ada sedikit senyum dan harapan baru di hatinya (aku percaya pada hatinya, hatinya menyimpan banyak kebaikan sebanyak doa diam-diam yang diucapkan untuk orang-orang kesayangannya).

Namaku Petrichor.
Mungkin aku tak bisa memahami kesedihan Sang Nona pun kesedihanmu dengan sangat baik. Yang aku tahu, sedari awal hujan menghadirkanku, aku tak pernah mau membuat siapapun bersedih. Meski sedih itu tak terelakkan, aku tak mau menambah kesedihanmu. Aku tak mau merasakan diam yang berkepanjangan, karena diam dan kesedihan, sulit diterjemahkan. Namun sesulit apapun itu, aku akan selalu berusaha menghapus kesedihanmu, memelukmu, membawa kesedihanmu pergi.

Namaku Petrichor. Aku tak terlihat namun aku terasa dan dapat merasa (yang tak terlihat memang tidak akan dilihat, tapi yang tidak terlihat terkadang dapat memahami dengan lebih baik). Semoga kamu mengingatku. Aku ada di setiap hujanmu. Jika nanti kita bertemu, mari bersama-sama merayakan kegembiraan. Simpan payungmu dan menarilah bersamaku di bawah hujan.

Oleh @inairhafair
Diambil dari http://ujungsunyi.wordpress.com

1 comment:

  1. Bagus banget tulisannya.. Sampe aku jadi terharu.. :')

    ReplyDelete