Kepada Ganesha,
Menggenapkan hari ke-tujuh menulis; mari beranjak dari perkara fajar,
gerimis, atau kunang kunang yang pulang. Kita harus lihat bagian lain
dari deretan kalimat ini. Bila cinta diam diam adalah sebuah lagu
panjang, maka inilah nada nadanya yang paling dasar.
Sebuah surat adalah wadah yang rumit. Aku bukan pengecut yang hanya
berani menyapa sebatas doa dan puisi setengah jadi. Perasaan pun butuh
perhitungan. Persetujuan butuh waktu.. Dan waktu? Siapa yang kuasa
bicara soal waktu?
Ganesha, merangkai potongan potongan ini juga masih harus berhati
hati. Mereka yang menemukan suratku secara tidak sengaja, membaca dan
sibuk berasumsi. Aku sih ketawa saja. Mereka mungkin tak mengerti bahwa
huruf memilih tinta – tangan dan bibirnya sendiri. Suratku ini milik
kamu. Suatu saat hanya akan pulang dan pudar di kamu, beserta seluruh
kelapangan (dan dahimu yang mungkin berkerut kerut). Belum ada tafsir
yang kuhadiahi selain senyuman, tapi kamu – nanti – akan membacanya di
depan mataku yang pasti berbinar binar bahagia.
Hari ini, sebuah lagu panjang masih berupa memoriku. Entah sampai
hari keberapa. Aku melipat suratku dengan rapi dan seringkali
menjejalkannya kembali. Jumlahnya puluhan, tersimpan dalam tabung tabung
bambu yang menggeletak ketika dideretkan. Ibarat Bhisma Rashad yang
sedang dalam pengasingan jauh di pelosok pulau…
Menulis untuk membagi kenangannya sendiri. Berpuisi hanya untuk mengingat kembali.
Salam,
AW.
Oleh @awulanp Sumber: http://pwulansari.wordpress.com
No comments:
Post a Comment