21 January 2013

Ini Bhisma-Ku Untukmu

Kepada Ganesha,

Menggenapkan hari ke-tujuh menulis; mari beranjak dari perkara fajar, gerimis, atau kunang kunang yang pulang. Kita harus lihat bagian lain dari deretan kalimat ini. Bila cinta diam diam adalah sebuah lagu panjang, maka inilah nada nadanya yang paling dasar.

Sebuah surat adalah wadah yang rumit. Aku bukan pengecut yang hanya berani menyapa sebatas doa dan puisi setengah jadi. Perasaan pun butuh perhitungan. Persetujuan butuh waktu.. Dan waktu? Siapa yang kuasa bicara soal waktu?

Ganesha, merangkai potongan potongan ini juga masih harus berhati hati. Mereka yang menemukan suratku secara tidak sengaja, membaca dan sibuk berasumsi. Aku sih ketawa saja. Mereka mungkin tak mengerti bahwa huruf memilih tinta – tangan dan bibirnya sendiri. Suratku ini milik kamu. Suatu saat hanya akan pulang dan pudar di kamu, beserta seluruh kelapangan (dan dahimu yang mungkin berkerut kerut). Belum ada tafsir yang kuhadiahi selain senyuman, tapi kamu – nanti – akan membacanya di depan mataku yang pasti berbinar binar bahagia.

Hari ini, sebuah lagu panjang masih berupa memoriku. Entah sampai hari keberapa. Aku melipat suratku dengan rapi dan seringkali menjejalkannya kembali. Jumlahnya puluhan, tersimpan dalam tabung tabung bambu yang menggeletak ketika dideretkan. Ibarat Bhisma Rashad yang sedang dalam pengasingan jauh di pelosok pulau…

Menulis untuk membagi kenangannya sendiri. Berpuisi hanya untuk mengingat kembali.

Salam,

AW.

Oleh @awulanp Sumber: http://pwulansari.wordpress.com

No comments:

Post a Comment