Kepada kamu, perempuan bermafela biru laut,
Sesungguhnya, aku berharap dapat mengenalmu pagi tadi. Aku ingin menjabat tangan mungil yang tersembunyi di kantung sweter berwarna awan itu. Apakah suhu di Jakarta pagi ini terlalu dingin bagimu? Sehingga aku tak dapat melihat barang satu senti saja kulitmu selain kulit yang ada di wajahmu. Memang, belakangan ini Jakarta diguyur hujan lebat dan angin kencang hampir sepanjang hari. Semoga kamu dapat menjaga kesehatanmu, ya.
Ada apakah gerangan dirimu pagi tadi sudah menunggu kereta pertama di hari yang kelabu ini? Kuliah? Kerja? Atau ada keperluan lain? Tas yang juga berwarna biru itu sepertinya berat sekali bagimu.
Ketika kau melihat jam tangan yang sedikit besar—yang juga berwana biru—aku ingin menyapamu. Aku ingin mendengar suaramu yang aku rasa tak kalah merdu dengan suara rintik-rintik hujan yang mulai turun menyapa kita. Aku juga ingin melihat barisan gigi yang sedari tadi bersembunyi di balik bibir yang untungnya tidak berwarna biru. Ada banyak keinginan dalam aku saat memandang ke arahmu andai kau tahu, perempuan biru.
Hujan mulai ramai, deras, lebat, disertai tiupan angin yang tak kalah hebat. Kau memeluk tubuhmu sendiri. Menepikan tasmu dari tempias air atap stasiun yang rupanya juga ingin menyapamu. Kau melihat ponselmu yang lagi-lagi berwarna biru. Lalu mengetikan pesan yang aku harap bukan ditujukan untuk seorang lelaki lain yang kau kasihi. Semoga.
Terlintas hasratku untuk menggantikan dirimu memeluk tubuhmu yang rupanya kedinginan meski sudah kau balut dengan pelbagai kain berwarna biru. Aku tak tega melihat kau memeluk dirimu sendiri. Aku merasa tak berguna, hanya bisa memandangmu dengan sesekali menoleh ke arah lain ketika ada orang yang memerhatikanku. Matamu sepetinya lelah. Apa kau belum memejamkan mata sepanjang malam tadi?
Ahh, sial. Kereta pertama yang kau tunggu datang. Aku masih ingin menikmati dirimu. Semoga keretanya penuh. Sangat amat penuh sehingga kau tak bisa masuk. Semoga.
Kulihat dirimu bersiap-siap. Mencoba mengangkat tas yang kuyakin sangat amat berat itu. Saat mencoba mendekat ke peron, para penumpang lain yang menanti kereta pertama langsung berjejal dan menghimpit. Dirimu tak bisa merasuk ke dalam. Langkahmu terhalang penumpang yang keluar dan yang ingin masuk ke kereta itu. Benar saja, keretanya sangat penuh. Aku yakin, kau tak akan memaksakan masuk. Aku yakin. Semoga.
Namun, kenyataan kadang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Meski telah dipersiapkan dengan sungguh-sungguh sekalipun. Perempuan biru itu tetap berlalu. Pergi. Meninggalkan aku yang sedari tadi berharap untuk dapat menyentuhnya, mendengar suaranya.
Suatu hari, jika kautemui surat ini dalam amplop berwarna biru muda yang kauterima dari seorang pedagang di sekitar stasiun, itu dari aku..
Yang pernah memerhatikanmu begitu dalam..
@shandyputraa
oleh @shandyputraa
diambil dari http://anotherdidhurt.tumblr.com
No comments:
Post a Comment