Hai, Akasa.
Kau pasti terkejut saat menerima surat ini, secarik kertas yang sudah mulai kekuningan, menjadi usang oleh usia. Jangankan kau, aku saja terkejut ketika menemukannya lagi. Terselip di album foto lamaku. Secarik kertas yang hanya tertulis kata “Hai” di atasnya, surat yang tidak pernah selesai ditulis. Yang membuatku langsung teringat bahwa tadinya aku akan memberikan surat ini untukmu di hari perpisahan SMA. Perpisahan, hal yang terpaksa terjadi pada kita saat itu.
Ternyata butuh waktu yang sangat lama untukku menyelesaikan surat ini. Entah karena semua yang aku rasakan tidak mungkin terkurung dalam secarik kertas kecil atau hanya karena aku tidak pernah sanggup membayangkan reaksimu begitu membacanya.
Sebenarnya aku tidak tahu mengapa aku tiba-tiba memutuskan untuk meneruskan surat yang sudah lama tertunda ini, sama sekali tidak ada penyebab khusus. Tapi pemicu kenangan itu bisa macam-macam, bukan?
Lagu,
Gambar,
Tulisan,
Celetukan.
Apa saja.
Aku membuka lembar demi lembar album foto lama dan menemukan banyak sekali sosokmu di dalamnya. Tidak heran, karena kita tumbuh besar bersama. SD bersama, SMP bersama, SMA bersama.
Kamu ingat masa-masa kita menyusuri jalan setapak untuk pergi ke sekolah? Di mana biasanya ada preman yang menunggu di depan gang. Aku ketakutan sekali waktu itu. Tapi kamu selalu bilang, “Gak apa-apa, tenang aja..” dan itu selalu membuatku merasa aman, meski pun aku juga tahu kamu ketakutan. Kamu tak ubahnya lengan pelindung yang tak pernah gagal untuk mengirimkan aku keberanian.
Aku selalu ingat saat-saat kita mengambil jalan memutar untuk pulang sekolah, membuka sepatu dan menjejakkan langkah-langkah kecil di kaki bukit. Aku selalu ingat betapa kamu menyukai suasana setelah hujan, meski pun setelah itu kakiku akan menjadi kotor terkena lumpur, tapi kamu selalu tertawa bersamaku yang seperti itu. Biasanya aku dimarahi Ibu setiap aku pulang dengan seragam kotor. Aku selalu ingat Ibu memarahi dengan pertanyaan khasnya,
“Inara! Kamu itu anak perempuan kok mainnya sama anak laki-laki terus?”
tapi aku tidak peduli.
“Jangan dengerin kata Ibu, pokoknya aku mau temenan terus sama kamu!”
Aku selalu ingat masa-masa pertama kalinya kamu jatuh cinta. Kamu tergopoh-gopoh mendatangi rumahku dan menceritakan tentang sosok Maria yang paling pintar bernyanyi di kelasmu. Aku selalu ingat aku mendorong-dorong badanmu karena kamu sulit sekali untuk mengajak Maria bicara.
Aku selalu ingat masa-masa kamu menemaniku menekan tombol telepon rumah Kak Fariz, menunggui aku bicara, membimbingku pelan-pelan mengucapkan kata-kata yang menyenangkan, mengajariku hal-hal mengenai klub bola yang Kak Fariz sukai supaya aku mempunyai bahan pembicaraan.
Aku juga selalu ingat saat-saat aku putus cinta dan kamu menemaniku dengan setia.
“Kalau aku jadi dia, cewek kayak kamu gak mungkin aku putusin!”
Aku tahu waktu itu kamu cuma bercanda, mengatakan hal itu untuk menghiburku saja. Tapi tetap saja jantungku berdebar-debar saat mendengarnya. Aku tidak tahu berapa kali ada perasaan-perasaan yang berbeda, tapi aku tidak pernah seberani itu untuk mengatakannya. Dan mungkin itu sebabnya mengapa aku menunda surat ini saat perpisahan SMA.
Setelah itu kita pergi kuliah, di tempat yang berbeda. Tapi tentu saja kita masih sepasang sahabat yang sama. Kau bahkan menjadi tempatku mendaratkan pelukan saat sidang skripsiku dinyatakan lulus.
Kamu ada di saat-saat terbaikku. Pun di masa-masa tersulitku.
Seperti keharusan, kamu adalah orang yang pertama aku beri kabar saat hal-hal baik terjadi padaku, kamu juga lah orang pertama yang aku inginkan keberadaannya saat hal-hal buruk menimpaku.
Kemudian kau dan aku sama-sama pergi bekerja. Lalu kau bertemu Anita, sosok wanita yang sempurna untukmu. Dan kau jatuh cinta.
Aku selalu ingat waktu itu kau menemuiku dengan tatapan yang berbeda dengan saat kita berada di bangku sekolah menengah. Kau bukan lagi Akasa yang kesulitan mengajak bicara wanita, kau telah menjadi lelaki dewasa yang siap untuk berkeluarga. Lalu kau menikah, membuat aku tahu bahwa bukan waktu yang tidak pernah tepat untuk kita, hanya saja kita memang tidak pernah tercipta untuk bersama.
Aku menangis di pernikahanmu dan kamu memberiku pelukan sesaat antar sahabat. Dan sampai akhir, kamu tidak pernah tahu bahwa selama ini aku menyimpan semua rasa. Tanpa kamu pernah tahu, aku ingin menjadi seorang pendamping yang lebih dari sekedar pendamping mempelai wanita. Aku ingin menjadi pendamping hidupmu, menghabiskan sisa waktu bersamamu.
Aku tiba di foto terakhir di album foto lamaku, foto pernikahanmu. Aku tahu kamu memiliki satu lembar foto yang sama. Satu lembar foto yang tidak ada artinya. Seperti aku yang di lembar-lembar kehidupanmu hanya akan kau kenang sebagai sahabat terhebat,
sedangkan kau akan aku kenang sebagai sesuatu yang lebih dari itu.
Surat ini tidak akan pernah terkirim. Akan terus tertunda, bahkan sampai tiba perpisahan yang sebenarnya.
Ditulis oleh : @frdtas
Diambil dari http://faraulias.wordpress.com
No comments:
Post a Comment