Hey, kawan baru.
Ketika aku menulis surat ini, mungkin kamu sudah tertidur pulas di bantalmu yang empuk itu. Sedangkan aku, sedang merasa sulit untuk memejamkan mata. Jadi tanpa pikir panjang aku mencoba menulis surat saja, untukmu.
Seharian ini, hatiku terlalu kacau. Aku terlalu ketakutan akan kehilangan, ditinggalkan dan akhirnya menjadi kesepian. Maafkan aku kawan, aku terlalu perasa akhir – akhir ini. Entah hal apa yang mempengaruhi hingga aku menjadi seperti ini. Harusnya aku tidak bersikap seperti tadi padamu, marah – marah tidak jelas, dan membuatmu sebal padaku. Aku sama sekali tidak menyadari hal itu hanya akan memperkeruh suasana saja. Egoku terlalu besar untuk sekedar menyadarinya.
Kawan, aku juga tidak paham, kenapa akhir – akhir ini aku selalu ingin memarahimu jika pesanku hanya kamu balas ‘oh’, ‘terus?’, ‘ya udah’ saja, rasanya ingin ku cubit pipi kamu yang kerempeng itu. Aku merasa kamu sudah bosan bertegur sapa denganku lewat pesan singkat. Apa iya kamu sudah bosan? Kalau iya katakan saja, aku tidak keberatan sama sekali kok. Justru aku lebih menyukai kebenaran yang menyakitkan dibandingkan dengan kebohongan yang indah, munafik namanya.
Maaf ya, aku memarahimu dengan alasan yang tidak masuk akal. Apalagi saat statusmu membicarakan gadis lain dengan emoticon mata berbentuk love, itu membuatku ingin menghapusmu dari kontak di hapeku. Tidak tahu kenapa aku kesal. Hati kecilku hanya menertawakanku, dia mencoba berteriak kalau yang ku alami itu adalah rasa cemburu. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku cemburu padamu? Siapa kamu, sampai – sampai aku harus cemburu ketika kamu mengupload foto gadis lain, sama sekali tidak penting. Bertemu saja belum pernah, untuk apa aku cemburu pada orang yang tidak nyata sepertimu?
Tapi, kekesalanku terluapkan secara tidak sengaja dan akhirnya kamu yang balik kesal padaku. Kesal akan sikapku yang tiba –tiba marah tidak jelas apa alasannya. Sempat ku bantingkan hape ku *dikasur tapi* lalu aku copot batrenya dan aku diamkan selama satu jam. Aku kesal sejadi – jadinya padamu yang tidak tahu apapun. Rasanya kalau aku sedang kesal semua anggota tubuhku menjadi konslet. Kacau, tidak karuan. Tapi tiba – tiba saat kekesalanku memuncak, aku tersadar. Untuk apa ku marah – marah pada orang yang tidak tahu menahu alasannya apa. Lalu dengan segera akupun minta maaf padamu. Aku minta maaf atas kejadian yang tidak jelas.
Rasanya aku memang tidak bisa lama – lama didiamkan olehmu. Aku terlalu takut, takut kamu pergi. Kekesalanku pun mereda ketika kamu bersikap seperti biasanya padaku, tanpa marah sedikitpun. Dan ujung – ujungnya aku yang malu sendiri. Malu terhadap sikapku yang terlalu kekanak – kanakan, sikapku yang gampang marah, sikapku yang cengeng, semuanya pokoknya.
Oia, maaf bila suratku terlalu panjang ya.
Setelah insiden ‘marah – marah gak jelas’ tadi selesai dan aku meminta maaf padamu, ada perasaan tenang di hatiku. Entah itu apa, tapi yang pasti aku merasakan ketenangan. Aku jadi ingat suratmu untuk seseorang, disitu kamu bilang “bahagia itu sederhana”. Ya memang bahagia itu sederhana, sesederhana senyuman kita, sesederhana pertemanan kita : )
Yasudahlah, ku akhiri saja surat ini. Sudah terlalu larut malam, aku harus menjadi alarmmu nanti besok, jangan sampai aku kesiangan.
Selamat tertidur pulas, kawan baruku.
Dari lawan bicaramu,
-puspa-
Ditulis oleh : @ekapusp
Diambil dari http://justrendezvous.wordpress.com
No comments:
Post a Comment