Kepada Gibran,
Sudah sejak lama aku ingin menulis surat kepadamu. Kau tahu, aku tidak pernah tidak menyukai puisimu. Puisimu yang kubaca pertama sudah bertahun yang lalu, meski hanya dalam bahasaku. Dan seperti itu pulalah aku menuliskan ini untukmu.
Selain namamu, aku simpan juga nama penyair yang selalu kupuja dari dulu karena kebisaannya menuliskan puisi sederhana dan menyelipkan kata cinta yang terlalu bermakna kalau menurutku. Iya, mungkin aku sok tahu, tapi kali ini percayalah, aku benar-benar jatuh cinta dengan kalimat “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana” miliknya. Apa kau mengenalnya, Gibran? Ataukah, dalam tidur panjangmu yang tak tentu kapan habis masanya itu, kau pernah bermimpi didatangi olehnya? Barangkali kalian berbincang tentang hujan, roman, malam, cinta, dan harapan. Dalam umurnya yang tidak terlalu lama itu, dia mungkin saja juga memujamu Gibran. Sama sepertiku.
Aku sudah membaca surat-suratmu, yang kau kirimkan kepada ayahmu dan saudara perempuanmu, Miriana. Pun surat-suratmu kepada sahabatmu Amin Guraib dan banyak pula yang lainnya. Tidak semua mampu kuselami dengan ilmuku yang masih sedangkal kolam ikan milikmu memang. Tidak pula bisa kubayangkan dengan jelas keadaanmu kala itu, saat tinta-tintamu berpijak pada lembaran kertas usang yang hendak kau kirimkan pada mereka. Yang aku tahu hanya aku selalu mengulang untuk membacanya, seolah aku tidak pernah lelah belajar menyelam saat aku bahkan tak tahu seperti apa itu berenang. Aku menyukai setiap suratmu kepada May Zaidah yang juga penulis dari negaramu itu. Seperti apa mencintai wanita pemuja sastra tanpa pernah bertemu? Ah, pasti May Zaidah selalu berdebar juga saat menerima surat dengan amplop bertuliskan namamu kala itu. Sudahkah kalian sekarang akhirnya bertemu, Gibran?
Dalam puisimu, kau tuliskan dengan jelas “Apabila cinta memanggilmu, ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku”. Kau perlu tahu Gibran, aku sudah mengikuti saranmu. Dan memang, walau aku tidak juga tahu apa yang akan aku dapatkan, entah bahagia, entah luka, aku tetap mengikuti saranmu. Aku pernah jatuh cinta. Sekali, dua, kali, tiga kali, dan berkali-kali tanpa ada habisnya. Aku sudah pasrah pada kejatuhanku pada yang mereka sebut dengan cinta. Aku sudah menyerah untuk tidak menentang hati pada segala yang mereka sebut asa. Bukan kah sudah kau tegaskan kalau aku harus berlaku demikian? “Walau ucapannya membuyarkan mimpimu” katamu tanpa ragu.
Aku pernah bahagia karena cinta. Sekali, dua kali, tiga kali dan berkali-kali. Pun aku pernah menangis karenanya. Hingga sekarang air mata sudah tidak berarti lagi jika dibanding sesak nafas dan lagu sumbang penyesalan yang hampir selalu berdendang karena kekecewaan. Aku tidak membenci mereka, seperti aku tidak membenci cinta. Aku juga tidak membencimu karena telah membuatku percaya pada cinta.
Aku masih percaya semua, dari bait pertama hingga terakhir puisi yang kau tulis sewaktu mungkin kau sedang gila-gilanya dikendalikan cinta. Kau benar, dan aku tetap tak bisa mengelaknya.
Dan juga jangan mengira,
Bahwa kau dapat menentukan arah jalannya cinta.
Karena cinta, apabila telah memilihmu.
Dia akan menentukan perjalanan hidupmu..
Baiklah, anggap saja ini surat cinta. Pun surat protes untuk segala kata yang tidak mampu ku protes dari dirimu. Sekali lagi kau benar, dan aku disini akan terus tersadar.
dariku yang masih saja mempercayai cinta
Sudah sejak lama aku ingin menulis surat kepadamu. Kau tahu, aku tidak pernah tidak menyukai puisimu. Puisimu yang kubaca pertama sudah bertahun yang lalu, meski hanya dalam bahasaku. Dan seperti itu pulalah aku menuliskan ini untukmu.
Selain namamu, aku simpan juga nama penyair yang selalu kupuja dari dulu karena kebisaannya menuliskan puisi sederhana dan menyelipkan kata cinta yang terlalu bermakna kalau menurutku. Iya, mungkin aku sok tahu, tapi kali ini percayalah, aku benar-benar jatuh cinta dengan kalimat “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana” miliknya. Apa kau mengenalnya, Gibran? Ataukah, dalam tidur panjangmu yang tak tentu kapan habis masanya itu, kau pernah bermimpi didatangi olehnya? Barangkali kalian berbincang tentang hujan, roman, malam, cinta, dan harapan. Dalam umurnya yang tidak terlalu lama itu, dia mungkin saja juga memujamu Gibran. Sama sepertiku.
Aku sudah membaca surat-suratmu, yang kau kirimkan kepada ayahmu dan saudara perempuanmu, Miriana. Pun surat-suratmu kepada sahabatmu Amin Guraib dan banyak pula yang lainnya. Tidak semua mampu kuselami dengan ilmuku yang masih sedangkal kolam ikan milikmu memang. Tidak pula bisa kubayangkan dengan jelas keadaanmu kala itu, saat tinta-tintamu berpijak pada lembaran kertas usang yang hendak kau kirimkan pada mereka. Yang aku tahu hanya aku selalu mengulang untuk membacanya, seolah aku tidak pernah lelah belajar menyelam saat aku bahkan tak tahu seperti apa itu berenang. Aku menyukai setiap suratmu kepada May Zaidah yang juga penulis dari negaramu itu. Seperti apa mencintai wanita pemuja sastra tanpa pernah bertemu? Ah, pasti May Zaidah selalu berdebar juga saat menerima surat dengan amplop bertuliskan namamu kala itu. Sudahkah kalian sekarang akhirnya bertemu, Gibran?
Dalam puisimu, kau tuliskan dengan jelas “Apabila cinta memanggilmu, ikutilah dia. Walau jalannya terjal berliku-liku”. Kau perlu tahu Gibran, aku sudah mengikuti saranmu. Dan memang, walau aku tidak juga tahu apa yang akan aku dapatkan, entah bahagia, entah luka, aku tetap mengikuti saranmu. Aku pernah jatuh cinta. Sekali, dua, kali, tiga kali, dan berkali-kali tanpa ada habisnya. Aku sudah pasrah pada kejatuhanku pada yang mereka sebut dengan cinta. Aku sudah menyerah untuk tidak menentang hati pada segala yang mereka sebut asa. Bukan kah sudah kau tegaskan kalau aku harus berlaku demikian? “Walau ucapannya membuyarkan mimpimu” katamu tanpa ragu.
Aku pernah bahagia karena cinta. Sekali, dua kali, tiga kali dan berkali-kali. Pun aku pernah menangis karenanya. Hingga sekarang air mata sudah tidak berarti lagi jika dibanding sesak nafas dan lagu sumbang penyesalan yang hampir selalu berdendang karena kekecewaan. Aku tidak membenci mereka, seperti aku tidak membenci cinta. Aku juga tidak membencimu karena telah membuatku percaya pada cinta.
Aku masih percaya semua, dari bait pertama hingga terakhir puisi yang kau tulis sewaktu mungkin kau sedang gila-gilanya dikendalikan cinta. Kau benar, dan aku tetap tak bisa mengelaknya.
Dan juga jangan mengira,
Bahwa kau dapat menentukan arah jalannya cinta.
Karena cinta, apabila telah memilihmu.
Dia akan menentukan perjalanan hidupmu..
Baiklah, anggap saja ini surat cinta. Pun surat protes untuk segala kata yang tidak mampu ku protes dari dirimu. Sekali lagi kau benar, dan aku disini akan terus tersadar.
dariku yang masih saja mempercayai cinta
oleh @tiaratirr
diambil dari http://tiaratirr.blogspot.com
No comments:
Post a Comment