17 January 2013

DRUJ


Godam tak kasat mata itu menghujan kepalamu. Temperaturmu melampaui batas normal. Matamu memuram, kehilangan cahayanya.

Hanya dua sendok nasi yang sanggup kamu telan. Sebotol air putih pun cuma jadi pajangan di atas meja.

Aku tahu kamu membenci ini semua. Lidahmu yang mendadak terasa pahit. Persendianmu yang tiba-tiba menjadi ngilu. Napasmu yang tidak lagi teratur. Aku tahu kamu ingin segalanya cepat selesai.

Maaf jika pertemuan ini tercipta dengan cara yang menyusahkanmu. Tetapi ada yang ingin kusampaikan. Aku janji tidak akan terlalu lama.

Ada sesuatu yang lebih besar dari tulang belulang dan kulitmu. Lebih menakutkan dari suhu badan yang tidak kunjung turun. Lebih membahayakan dari bakteri yang membelah diri dalam sekali getar.

Ini bukan tentang aku, melainkan tentang dirimu. Dirimu yang mungil. Dirimu yang meledak. Dirimu yang mengasingkan diri.

Aku mengenali setiap inci dari dirimu, walau kamu tiada mungkin terukur oleh satuan apapun. Aku adalah saksi dari eksistensimu yang agung. Dan bolehkah aku menyampaikan kejujuran? Kejujuran yang seringkali kamu bohongi?

Kamu terlalu pintar membodohi. Kamu terlalu pintar bersikap dingin. Kamu terlalu pintar bersembunyi. Kamu terlalu pintar berpura-pura. Kamu terlalu pintar menggerakkan segenap diriku untuk menutupi kerapuhanmu. Aku membenci ini semua. Kamu memintaku bertahan serupa kulit telur dan memaksaku untuk tidak pecah. Retak segarispun kamu takkan pernah rela.

Aku ingat malam itu dan malam-malam sesudahnya, ketika kamu memasuki ruanganmu. Tas itu nampak terlalu berat di bahumu, tapi ada sesuatu yang jauh lebih berat lagi. Sesuatu yang memaksamu bersandar di dinding, memandang ke satu titik, lalu dalam waktu yang tidak bisa ditentukan, pelan-pelan pipimu dialiri air hujan.

Jangan dulu mengutuk apa yang kukatakan. Kamu tidak akan pernah menyadari ini bilamana terlalu sibuk menyangkal.

Dalam sepimu, senyum yang kamu gariskan setengah mati sudah patah. Dalam sunyimu, gelak tawa yang dipaksa ada telah menguap. Dalam diammu, ada bagian dirimu yang remuk, tapi kamu berpura-pura tidak peduli.

Jurang kecewa yang pernah menjerembabkanmu itu masih menganga lebar. Kamu tidak ingin pergi kesana lagi. Tidak karena orang lain. Tidak juga karena dirimu sendiri. Dari sekian banyak manusia, mengapa mesti kamu yang terjebak? Mengapa harus kamu yang menanggung ini semua?  Mengapa bukan mereka yang tidak mau menghapuskan air mata orang lain?

Itu kan, yang selalu kamu pertanyakan?

Kamu percaya hidup adalah simpul yang bisa diluruskan tanpa perlu menyalahkan siapa-siapa. Tidak mereka. Tidak juga dirimu. Apalagi Tuhan. Katanya Tuhan sudah merencanakan segalanya. Lalu hanya karena tidak ada yang sia-sia, apakah berarti ketika ada seorang yang mendorongmu ke dalam jurang itu lagi, mereka bisa mengatasnamakan takdir dan mengharapkanmu baik-baik saja?

Ketidakmengertian ini membuatmu ingin gila.

Aku tahu matamu semakin panas. Pandanganmu dalam sekejap jadi buram.

Memang inilah yang aku mau. Tidak pernah kupaksakan setitik kepalsuan. Kejujuran akan selalu membawamu pulang. Meringkuk di balik kedua telapak tangan dan melepas energi yang kau susut dalam hening. Hening yang bening.

Tapi ketahuilah, aku menginginkanmu percaya. Bahwasanya kamu dilahirkan untuk bebas. Untuk mengecap bahagia yang nyata. Kecewamu bukanlah ujian, melainkan teguhnya pendirianmu untuk tidak berlaku serupa kepada orang lain.

Sekarang aku mempersilakan dirimu untuk terlelap. Biarkan udara mengucapkan selamat tidur. Aku yakin esok hari kamu akan baik-baik saja. Kamu akan kembali bersinar, dan ketika sinarmu redup, tidak ada satu elemenpun di muka bumi ini yang melarangmu untuk jujur. Menyatakan apa adanya bahwa kamu mencapai titik didihmu. Bukan berarti kamu tidak berdaya.

Tidakkah kamu tahu? Aku bukanlah sangkar bagi dirimu. Tapi dirimulah sangkar untukku.

Karena kamu jauh lebih kuat dari yang selama ini kamu sangka. Ada sesuatu yang lebih hebat dari fibrinogen, asam mefenamat maupun anestesia. Sistem yang terlahir sepaket dengan gelombang nestapamu. Walau ada beberapa titik di perjalanan yang membuatmu takut akan manusia dan memilih untuk mengasingkan diri.

Seribu wajah itu berlalu lalang, percakapan demi percakapan terjadi, tapi kamu selalu merasa sendirian.

Ingatlah aku. Ingatlah milyaran sel yang menyusun dan mengamini setiap doamu. Aku, mengenalimu, mengenali hidup dan hidup di dalam dirimu.

Seiring matamu terpejam, izinkan aku membisikkan sebaris kalimat di telingamu.

Kita selalu satu. Jangan pernah lupakan itu.


Dari Raga, Untuk Jiwa.

Oleh @hanaber
Diambil dari http://hanadiningsih.tumblr.com

No comments:

Post a Comment