Bukan tiba-tiba kamu di situ. Mengikuti arah mataku bermuara. Bukan pada oranye senja, bukan pula kelam berserakkan bintang. Hanya biru dengan pancar matahari yang bersiap meredup, dan awan yang enggan menggumpal. Tenang, itu langit yang kita suka. Kesamaan yang tak berani kuberi nama selain sebuah kebetulan.
Dan bukan tiba-tiba kamu di situ. Mengacaukan rutinitas dan mencipta kebiasaan baru. Demi beberapa saat bersama menatapi langit petang, berhiaskan burung yang satu-satu terbang. Lalu kita berkata-kata dalam diam. Berbicara dalam bahasa yang tak memerlukan suara. Saling memahami tanpa perlu menerjemah isyarat ataupun aksara. Masih, aku tak berani menamakannya apa.
Hati semestinya memang tak perlu ikut di dalamnya. Organ paling sulit dikendalikan, menghentak keluar dari dada, hendak turut menyicipi tenang dan bebas. Dengan sayap yang entah sejak kapan tumbuh di punggungnya, terbanglah ia membelah angin seirama dengan kepak pipit yang sedang melintas. Berputar, bernyanyi riang. Sesekali berhenti, mengecup bibirmu.
Petang ini, seperti yang sudah-sudah, masih ada aku, langit yang tenang, dan burung yang satu-satu terbang. Bukan tiba-tiba kamu tak lagi ada di situ, aku tahu. Masih selalu di genggaman selembar foto yang terakhir kau tinggalkan; sebentang biru dengan matahari yang bersiap meredup, awan yang enggan menggumpal, dan kepakan sayap terbang menjauh. Saat itu, segera ku raba hatiku. Hilang.
Dalam ketidakmengertian yang hingga kini, masih saja kurasakan kekosongan ini…,
yang jika saja sebelum pergi, kau sudi memberinya nama.
Oleh @beatricearuan
Diambil dari http://beatrice-aruan.tumblr.com
No comments:
Post a Comment