17 January 2013

Apa kabarmu, Pa?

Selamat malam, Pa.
 

Apa kabarmu, Pa? Sehatkah di sana? Bodoh rasanya menanyakan kabar seorang ayah dengan cara begini, tapi bagaimana lagi? Aku terlalu jarang dapat menemukan sosokmu di dekatku. Kapan terakhir aku menyapamu, Pa? Kapan pula terakhir kamu memanggil namaku? Mungkin beberapa tahun yang lalu saat seragamku masih putih-biru dan masih baru. Dan sekarang aku sudah jadi pegawai.
 

Sekarang pukul dua dini hari. Aku terbangun karena mimpi tentangmu. Di mimpiku tadi, aku melihat sosok mudamu yang bermain dengan anak perempuan berumur lima tahun. Diriku sendiri. Apa kabar perut gendutmu yang dulu sering kupakai tidur? Apa kabar bahu gagahmu yang sering menggendongku dulu? Sudahkah kembali seperti asalnya? Karena terakhir aku melihatmu semua itu sudah memudar. Perutmu semakin buncit tapi badanmu makin kering. Bahu itu semakin turun, lunglai tak terurus lagi.
Pa, ingatkah dulu Papa sering mengajakku memutari kota Solo dengan bus tingkat milik Damri yang warnanya putih-biru itu? Dulu Papa sering mengajakku naik ke tingkat dua, menunjuk tempat-tempat menarik yang selalu aku lupa apa saja namanya. Dulu, duniaku itu ada di tangan Papa.
 

Bisa saja sekarang aku memencet nomor teleponmu di ponselku, menekan tombol hijau dan mendengar suaramu, tapi ini terlalu malam untuk mengganggu tidurmu yang biasanya beriring dengkur yang aku suka. Ah aku jadi ingat, betapa seringnya kumainkan hidungmu saat mendengkur dulu. Harusnya aku yang tertidur dengan dongeng Bawang Putih-Bawang Merah atau Ande Ande Lumut atau Si Kancil atau Timun Mas yang kamu bawakan dengan bahasa jawa yang fasih. Tapi di akhir cerita, kamulah yang tidur lebih dulu, Pa, dengan memelukku, lalu mendengkur.
 

Pa, sebelumnya aku sekalipun tidak pernah mengucapkan kalimat “Aku menyayangimu, Pa.” padamu. Aku terlalu jadi pemalu di hadapanmu. Menginjak dewasaku, saat bertemu pun, kita jarang membicarakan apa-apa. Sibuk dengan diam masing-masing. Aku bodoh selalu merasa malu mengungkapkannya padamu. Sekarang, kesempatanku menipis. Aku semakin jauh dari rumah tuamu di desa yang teduh itu, tidak seperti beberapa waktu yang lalu, rumahmu dan rumah Mama, hanya berada di kota yang bertetangga.
Sekalipun tidak pernah kuungkapkan, ku tahu kamu tahu, Pa, bahwa aku selalu menyayangimu. Aku merindukanmu. Merindukan wejangan-wejanganmu. Merindukan kesederhanaanmu. Aku merindukanmu. Papa.

I love you, Pa.
Anakmu yang bandel.
Arinda



oleh @PKPKarin
diambil dari http://arinddapratami.blogspot.com

No comments:

Post a Comment