Kepada perempuan dengan bangkai kupu-kupu di tangan,
Hujan masih bersisa di halaman belakang kantorku ketika kutuliskan secarik surat ini untukmu. Masih kudengar jelas jejak-jejak gemuruh di langit. Menggeram seperti marah yang dipaksa redam. Dari ujung atap cucuran air berlomba-lomba menuju tanah. Nada mereka terburu-buru namun tetap merdu. Lalu kusesap pula bau tanah yang basah. Kadar air meninggi di udara. Kuhirup dalam-dalam untuk menenangkan pikiran. Besar harapanku, segala kata yang kukumpulkan disini mampu pula kau terima dengan lapang dada.
Salam kenal,
Maap jika kedatangan surat ini membuatmu mengernyitkan dahi. Atau mungkin sebelum membaca isinya, sebelum menelaah kata-kataku, saat kautemui amplop dengan nama pengirimnya berupa namaku, jantungmu berdetak dengan tak beraturan.
Iya. Ini aku. Perempuan yang (mungkin) membuat kupu-kupu di perutmu sudah berubah jadi bangkai.
Apa kabar?
Semoga surat ini mampu menjelaskan kepadamu bahwa sejujurnya aku tidak pernah ingin masuk ke kehidupanmu. Kalaupun pada akhirnya aku harus masuk, aku tidak ingin kau harus pergi tanpa penyelesaian. Kita sama-sama perempuan dan tentu saja aku harus menjaga perasaanmu. Jadi, agar aku tahu bagian mana yang harus kujaga, maukah kau mendengarkan penjelasanku lalu turut pula memberikan penjelasan setelahnya?
Laki-laki itu hadir di hariku baru-baru ini. Tanpa kuminta, dia memberikan perhatian lebih padaku. Dia menyelamatkan pagiku yang gagu dengan hangatnya semangat. Dia mengisi siangku dengan keriangan. Dan menutup malamku yang kosong dengan pengharapan, bahwa hari esok akan kami jalani dengan lebih baik. Akan ada cerita-cerita baru, akan ada tamasya setiap minggu, dengan sosok dewasanya yang siap membimbing kekanak-kanakanku.
Demikianlah aku mengenalnya dengan manis hingga suatu hari sampai padaku sebuah cerita tentang perempuan dengan bangkai kupu-kupu di tangan. Orang-orang bilang laki-laki yang baru kukenal itu pernah menanam kupu-kupu di perutmu. Jadi, apakah benar bangkai di tanganmu itu adalah kupu-kupu darinya?
Sebab aku perempuan. Aku tahu rasanya memakamkan perasaan. Karena dia masih belum mampu membawakan kupu-kupu yang sama di perutku, kupikir aku bisa mendengarkan ceritamu terlebih dahulu. Ceritakanlah perihal bangkai kupu-kupu di tanganmu. Agar dengan tenang bisa kuputuskan lahan hati sebelah mana yang akan kuberikan pada laki-laki itu.
Sebab kita perempuan. Sebelum berakhir patah, bukankah sebaiknya berhati-hati untuk tidak jatuh, kan?
menyuratimu dengan kerudung hitam,
aku.
Ditulis oleh : @ezapia
Diambil dari http://komidiputar16.wordpress.com
No comments:
Post a Comment