27 January 2013

Dari Tanah Untuk Hujan


Teruntuk hujan.

Rasanya aneh sekali ya aku menulis surat semacam ini. Mengingat kita tidak pernah bercengkerama atau setidaknya saling menyapa. Padahal hampir setiap hari –atau bahkan bisa berkali-kali dalam sehari—kita berjumpa dan tentu saja masing-masing dari kita menyadari pertemuan ini.

Kita tidak hanya berjumpa. Lebih dari itu. Bahkan kau senantiasa menyentuhku dengan tanganmu yang dingin itu atau menjatuhkan sekujur tubuhmu yang juga dingin padaku yang awalnya kering. Kau membuatku basah, entah dengan perlahan-lahan dalam wujud gerimismu atau dengan secepat kilat dalam wujud deras.

Ini memang takdirku, harus selalu bersedia dibasahi olehmu.

Mungkin kau boleh bilang bahwa aku adalah makhluk paling mengenaskan di dunia. Aku membiarkan manusia-manusia dan hewan-hewan yang konon diciptakan dariku menginjak-menginjakku, berlarian, dan menghantamku sesukanya. Namun, mungkin karena terbiasa atau terlalu bahagia, aku tidak pernah merasakan sakitnya.

Iya. Meski terkadang terlihat menyedihkan, aku bangga kok dengan keberadaan dan peranku ini. Setidaknya aku memiliki banyak manfaat untuk mereka. Salah satunya adalah karena aku, mereka memiliki sumber kehidupan. Coba saja jika tidak ada aku, akan hidup di mana tumbuh-tumbuhan? Jika tidak ada aku, tumbuhan tidak akan hidup, maka manusia pun akan mati kelaparan. Peranku keren kan? Haha, sesederhana itu, aku bangga pada diriku, Jan.

Kembali pada kita ya.

Aku sering bertanya-tanya, bagaimana rasanya jatuh menimpaku? Apa kau selalu jatuh dalam keadaan bahagia? Atau malah berduka? Kau selalu tampak apa adanya. Basah dan dingin tanpa ekspresi lain. Atau mungkin karena kau terlalu malu untuk menampakkannya. Begitu kah?

Aku pun tidak mengerti mengapa aku selalu ragu untuk memberanikan diri menyapamu, lalu menanyakan hal itu padamu. Aku selalu berdiam di tempatku, memandangimu turun dari langit yang tidak pernah kuketahui seberapa jauhnya, selanjutnya kubiarkan kau jatuh menghantamku, membasahiku sesukamu. Haha, mungkin memang beginilah takdir kita. Kita terjebak dalam siklus yang telah ditetapkan. Kau selalu jatuh menimpaku, dan aku, selalu senang hati untuk menangkapmu.

Oh ya, terima kasih karena selalu membuatku basah sehingga aku dapat menjalankan peranku.

Kutunggu balasan kabar darimu, Jan.


Yang senantiasa menangkap jatuhmu,

Tanah.

Oleh @itashn
Diambil dari http://mengusang.wordpress.com

No comments:

Post a Comment