27 January 2013

Adakah yang Lebih Nyata dari Sebuah Kita?


Selamat sore sayang,

Semoga sayang kan tetap berada linimasa hari, berbahagia untuk semburat jingga di pelupuk langit senja. Sayang, aku merindumu. Kau tahu bukan? Surat ini kukirimkan untukmu seperti janjiku pada diri sendiri, setiap ganjil hari. Biarkan rindu yang menggenapi jeda diantaranya. Aku harap pun surat ini menjadi jawaban atas getirmu pada setiap malam.

Sayang, berhentilah tertawa jika hatimu yang kudapati sedang menangis di pojok ruang. Aku mengerti bagaimana kau menutupi pori per pori kesedihan yang berulang, dengan candaanmu yang menjulang. Tidak banyak yang bisa ku buktikan, bahwa kaulah satu-satunya lelaki yang kusayang. Tetapi, percayalah. Jika semesta kan selalu berputar pada porosnya, mengikuti hukum alam. Ikutilah alurnya hingga berporos pada sebuah kita. Percayalah, ada sebuah kita disana!

Betapa aku mengerti kekhawatiranmu untuk sebuah kita. Meskipun waktu bukan menjadi pegangan kita, namun waktu pula yang terkadang mengganggu bahagia yang kita coba rangkai setiap harinya. Betapa kita saling mengerti bahwa kita telah lama mengenal jauh-jauh hari sebelum hari pertama pertemuan kita. Menyayangimu, seperti menyayangi orang yang telah lama ku kenal. Nampaknya semesta mengkontradiksi atas kepercayaan kita untuk sebuah doa-doa; yang telah lama tak lagi kita percaya. Semesta mempertemukan kita sebagai dua anak manusia yang (pernah) tak lagi percaya akan cinta. Jawaban untuk setiap tanya masing-masing diri, ternyata saling mengenapi di senyum masing-masing bibir. Ah, sayang. Bagiku pertemuan kita bukanlah sebuah misteri, ini hanyalah sebuah suratan takdir di mana cinta memang harus berpulang pada masing-masing tuan. Dan sebuah kita, adalah rumah bagi masing-masing cinta.

Sayang, hapus sudah semua rinai hujan di pinggiran hati. Hatimu terlalu basah untuk kupijak. Bagaimana aku menari di dalamnya?

Hati-hati yang telah usang, tak mungkin layak untuk kembali bercinta. Tak usah hiraukan mereka yang datang diantara rintik-rintik hujan pada parkiran temaram sebuah malam penuh kenangan. mereka telah mati sayang. Datanglah ke pemakaman; di mana hati-hati yang telah membusuk kukuburkan. Seperti hukum alam rimba. Siapa yang terkuat, ia lah yang menang. Dan kau tahu persis, betapa mereka telah lama mati jauh-jauh hari sebelum pertautan cinta bertakdir atas nama sebuah kita.

Sayang, bukankah kita sama-sama kembali pada titik nol? Titik awal dari sebuah kebahagiaan; yang pernah jauh-jauh kita dustakan. Seperti seorang bayi yang terlahir suci. Sebuah kita adalah reinkarnasi sebuah kehidupan sakral yang menjadi penentu masa depan. Sadarkah kau sayang, betapa langkah kecil yang kita buat sekarang kan berpengaruh besar untuk masa yang akan datang?

Kau adalah sebuah kini yang ku tanam dengan hati-hati agar berbuah manis akan sebuah masa depan. Pupuk bernamakan cinta selalu ku tabur tiap detiknya pada ladang sebuah kita, ku berikan air kehidupan bernama rindu agar tiada tandus berani menghampirinya. Dan aku percayakan matahari sebagai Tuhan untuk membiarkan ladang ini bersemi tiap musimnya. Tak perduli musim apa, bagiku ladangku ladang yang kuat. Tak kan mengenal layu dalam sebuah musim.

Sayang, aku bukanlah wanita yang bodoh mengorbankan sebuah masa depan untuk sebuah masa lalu; yang kutahu telah lama mati di pemakaman sebuah desa bernama kenangan. Aku tak kan membiarkan diri terhanyut jika tak berhilir padamu. Bukan pula wanita bodoh yang percaya akan sebuah bayang-bayang maya di belakang, jika nyata kutemukan tepat pada kedua bola matamu. Tepat di depanku. Aku melihatmu sebagai satu-satunya rumah yang kupercaya, untuk ku titipkan kebahagiaan pada masing-masing ruang. Dimana aku melihat sebuah kita pada beranda belakang rumah. Aku percaya, jika perlahan ku isi rumah itu, menikmati sore di beranda belakang rumah dengan segelas teh di tangan dan punggungku di pelukanmu, tak kan lagi sebuah mimpi belaka. Sebuah kita, sebuah masa depan yang nyata.

Sayang, jagalah dirimu baik-baik disana. Bosankah kau kuperingatkan, untuk menjaga investasi kebahagiaan masa depanku baik-baik? Aku tak kan pernah bosan mengingatan kau untuk menjaga rumah itu baik-baik. Tak usah lagi getir jadi buah bibir dalam permainan pikiranmu di halaman depan. Kau adalah tuan untuk hati yang kupunya. Sebuah masa depan yang nyata. Biarkan kau dan aku menjadi pondasi yang kuat untuk rumah sebuah kita, di masa depan. Jangan pernah biarkan hujan membawa masuk kenangan pada sudut-sudut jendela. Kunci rapat-rapat setiap sela yang mungkin menjadi lorong bagi parasit-parasit yang mencoba menghancurkan rumah sebuah kita.

Jika ragu masih menghiasi sudut-sudut ruang, tanyalah pada masing-masing diri, adakah yang lebih nyata dari sebuah kita?

Tertanda,

Wanita Sore.

Oleh @iiTSibarani
Diambil dari http://iitsibarani.wordpress.com

No comments:

Post a Comment