Halo Georg,
Berapa usiamu sekarang?
Ketika aku membaca surat-surat Jan Olav, ayahmu, delapan tahun lalu, aku turut larut dalam kisah-kisahnya. Bagaimana rasanya mendapatkan surat dari ayah yang sudah meninggal bertahun-tahun lalu? Aku tidak pernah mendapat surat dari orang yang sudah meninggal. Bahkan, beberapa tahun terakhir, aku tidak pernah mendapat surat pribadi.
Jika membaca lagi surat-surat ayahmu, seharusnya aku malu karena aku begitu beruntung sementara ayahmu keburu meninggal sebelum kau bisa mengingatnya. Namun, seringkali aku merasa marah karena terkadang ayahku menggunakan cara yang aneh untuk mengatakan bahwa dia menyayangi anak-anaknya.
Aku pernah begitu marah hingga aku menyalahkannya untuk segala hal buruk yang kumiliki, padahal mungkin sebenarnya keburukan itu sudah ada di dalam diriku. Bahwa aku yang tidak mampu melihat kemalanganku dari sisi yang lain. Lalu, aku malah jadi dementor buat diri sendiri — dan orang-orang di sekelilingku. Tapi aku enggak nyadar. Yeah, bagus banget.
Tapi itu sih dulu, aku sudah tidak menyalahkan Papa. Tidak terbayang sih kalau lima belas atau dua puluh tahun kemudian, aku punya anak yang menyalahkanku, menuduhku buruk sebagai Ibu. Menjadi orang tua itu adalah belajar seumur hidup. Kita enggak pernah ahli jadi orang tua.
Georg,
Apakah kau masih tinggal di Humleveien di Oslo? Apakah kau jadi pacaran sama cewek pemain biola di tempatmu kursus piano?
Kau tahu? Aku selalu senang membaca kisah ayahmu dengan Gadis Jeruk. Membayangkan dia di dalam trem, menatap gadis bermantel anorak tua berwarna oranye sambil memeluk sekantung penuh jeruk yang dipilih secara berhati-hati. Aku senang bagaimana dia bercerita. Membuat hal-hal seakan kebetulan, padahal dia memang mencari. Aku senang dengan ide bahwa belahan jiwa itu, bertemu karena mereka saling mencari.
Apakah kau sudah bertemu dengan belahan jiwamu, Georg?
Sepertinya aku iya. Walaupun tidak ada acara kejar-kejaran di dalam trem dan tidak ada jeruk-jeruk yang menggelinding, kupikir dia adalah belahan jiwaku. Aku menulis ini, sambil menatapnya dari samping. Kami sama-sama memangku laptop, aku mengintip layarnya dan menemukan karakter-karakter anime. Lalu aku berpikir, kami akan menghabiskan waktu santai seperti ini sampai kami tua. Kami akan selalu berpegangan tangan, dan selalu menyenangi berjalan di bawah pohon-pohon besar sementara dia menyebutkan nama latinnya dan aku mengangguk-angguk berusaha untuk menghafal namanya tetapi selalu lupa ketika dia menyebutkan nama latin pohon berikutnya.
Georg, ayahmu, Jan Olav, menulis dalam suratnya untukmu bahwa setiap dongeng memiliki aturan-aturannya sendiri. Cinderella harus pulang pukul dua belas dan meninggalkan sepatunya di tangga ruang dansa. Putri salju harus memakan apel beracun dan tertidur panjang sampai seorang pangeran menciumnya. Jan Olav dan Gadis Jeruk harus berpisah selama enam bulan harus saling menunggu untuk membuktikan bahwa mereka adalah belahan jiwa. Dan aku, aku dan dia, juga harus menunggu. Kami harus berjauhan 150 kilometer dan tidak bisa bertemu setiap hari karena beginilah dongeng kami berlangsung.
Aku sedih, sebenarnya, Georg. Kuharap ini memang aturan dalam dongeng kami. Bahwa ini adalah sesuatu yang harus kami alami sebelum akhirnya kami kembali bersatu. Lagi pula, seratus lima puluh kilometer tidak terlalu jauh. Barangkali jika tahun depan teknologi teleport berhasil ditemukan, kami sama sekali tidak usah berpisah.
Georg,
Apakah kau bosan membaca surat ini? Kau kan sudah membaca surat ayahmu yang jadi sebuku itu. Hehe. Sebaiknya kusudahi saja surat ini. Semoga kau bahagia seperti aku. Salam buat ibumu.
Salam,
Nona Penyihir
ps: dia sering menyebutku wanita penyihir dengan mesra. haha.
~~~~~~~~~~~~~~~~~
Georg Roed adalah putra Jan Olav dalam buku Orange Girl karangan Jostein Gaarder, penulis Norwegia yang juga menulis buku bestseller Sophie’s World.
Oleh @JiaEffendie
Diambil dari http://metanikalanta.tumblr.com
No comments:
Post a Comment