Kepada: John Porter dan John Mitchell
Dear John,
Dua kali melihat kematian dalam seminggu tidaklah mudah. Akan tetapi, aku berhasil melewatinya. Aku bisa.
Kenyataan memang tak pernah tahu mau mengarahkan kita ke mana. Rencana yang disusun berujung ke A, tapi siapa yang sangka suatu dan lain hal membawa kita sampai ke B. Kita bisa bahagia, kita bisa berduka. Itu adalah pilihan.
Yang jelas tidak bisa dipungkiri adalah setiap cerita akan bertemu akhirnya.
Dear John Porter,
Apakah itu menyakitkan?
Tujuh tahun kau mencari pembenaran jika bukan kau yang menghabisi dirimu dalam misi penyelamatan itu. Kau merelakan karirmu yang cemerlang, termasuk keluargamu. Dari seorang dalam bagian intelejen negara, sampai menjadi tukang parkir dan sekuriti? Aku tak pernah tega mereka melakukan itu kepadamu. Aku tak pernah rela.
Kemudian, kamu tahu akan pemuda itu. Dia yang kamu selamatkan tujuh tahun lalu. Saksi mata dari penembakan brutal rekan satu timmu. Kamu memohon kepada salah satu temanmu yang selamat dan bekerja di badan intelejen tersebut agar kamu diturunkan ke lapangan lagi. Untuk menuntaskan misi, untuk mengentaskan keingintahuanmu akan fakta yang selama ini tersembunyi. Sampai ke tanah konflik di Timur Tengah kamu mejejakkan kaki.
Di antara desingan peluru dan bom di tanah yang sewaktu-waktu bisa membuat tubuhmu hancur, kamu terus melangkah dengan berani. Tak ada yang bisa menghentikanmu, bahkan anak atau istrimu sendiri, demi kebenaran yang kamu cari selama ini.
Kamu mendapatkannya. Dari mulut rekan setimmu yang selamat, yang mengirimmu ke tanah konflik. Lalu, hukuman yang setimpal didapatkannya. Dia mati. Dan kamu melanjutkan hidup kembali. Tetapi, apakah itu berarti? Pengakuan yang kamu tunggu selama tujuh tahun?
Aku tak pernah tahu.
Apakah itu menyakitkan? Dibanding dengan tujuh tahun yang kau lewati dengan rasa bersalah. Tujuh tahun untuk menyimpan rasa dendam. Aku tidak pernah tahu. Meski aku melihat bagaimana kau selalu peduli dengan orang-orang yang kau buru. Kau selalu menyempatkan mendengar. Kau, pria baik. Akan tetapi, apa yang kau dengar sepertinya tidak meluruhkan keegoisanmu.
Kau kembali lagi ke tanah konflik. Kupikir kau selalu bisa lolos, tapi kali ini sepertinya kau menyerahkan diri.
Apakah itu menyakitkan? Ketika peluru dari gerilyawan itu menembus kepalamu?
Aku bertanya kepadamu karena aku yang merasakan sakitnya, bukan dirimu.
Dear John Mitchell,
Seratus delapan belas tahun bukan waktu yang sebentar. Katamu, kamu punya memori lebih banyak daripada orang-orang biasa di dunia ini. Otakmu memuat lebih banyak cerita dibanding sosok-sosok yang mungkin kautemui di jalan raya. Kenangan-kenangan. Kalimat terakhir dan nama-nama yang tak pernah bisa kaulupa.
Katamu, hampir ribuan nama. Mungkin di tahun hidupmu yang seratus delapan belas tahun jumlahnya sudah tergenapi menjadi seribu. Yah, aku tidak terlalu lupa hitungan tepatnya berapa, kamu belum sempat memberitahuku.
Kamu istimewa dan selalu berusaha menjadi seperti orang-orang kebanyakan. Kamu ingin biasa saja. Dengan keras kamu mencoba apa yang kau inginkan itu. Tetapi, tahukah kamu? Keistimewaan itu tak akan pernah tenggelam, meski kamu selalu berusaha untuk menjadi biasa.
Menjadi biasa bukan sesuatu yang ada dalam kamus hidupmu.
Namun kamu memilih hal tersebut. Karena cinta yang pernah kamu terima. Bahwa kamu lelah mendengar suara-suara terakhir, wajah-wajah, nama-nama berseliweran dalam pikiranmu. Kamu tahu, setelah melakoni pilihan itu semua suara, wajah, dan nama yang berenang dalam ingatanmu itu tidak akan serta merta hilang. Setidaknya, kamu tidak menambah lagi. Ribuan sudah cukup, ya?
Kemudian, kamu bertemu dengan seseoran yang menurutmu bisa kaupercaya lagi. Bisa menolongmu dari keadaanmu yang ‘tidak biasa’. Aku ingat pesanmu kepadanya:
“You surround yourself with good people. That’s what you do. Find someone better than you. ‘Cause then when you fail, you have to deal with their disappointment. And that’s what keeps you true.”
Saat akhirnya, kamu terkhianati oleh cinta. Dia, seseorang biasa yang kamu percaya menghancurkan harapan bertahun-tahun yang kau bangun. Bahwa kamu yang luar biasa bisa hidup berdampingan dengan mereka yang biasa-biasa saja. Kemarahan merasukimu, dendam membara dalam tubuhmu. Lalu, insiden itu terjadi begitu saja–kereta itu memerah di tunnel 20.
Tentu saja, setelah itu kamu menyesal. Teman serumahmu membocorkan rahasiamu. Kamu dipisahkan dari sahabat-sahabatmu. Sosok yang kaucintai menyuruhmu tetap tinggal di dalam ruang sempit, tempat kamu akan menghabiskan sisa hidupmu. Akan tetapi, ada orang-orang yang tidak bisa membiarkanmu terkurung selamanya di sana. Kamu dilepaskan…. Lalu, kamu sadar, kebebasan itu akan dibayar dengan nyawa lainnya. Kamu tak akan berhenti mengambil nyawa orang lain sepanjang kamu hidup.
Maka, pada suatu malam, kamu membawa pasak kayu itu kepada sahabatmu. Berlutut, memohon untuk mengakhiri semuanya. Menusukkan pasak kayu itu ke jantungmu. Menghapus eksistensimu. Selamanya.
Sahabatmu bilang, dia melakukan ini karena mencintaimu. Sambil menangis. Pun aku, tak bisa menahan air mata.
Kamu egois, kataku. Pergi untuk dirimu sendiri. Untuk melepaskan beban yang selama ini kaubayar demi hidup panjangmu.
Apakah itu menyakitkan? Saat pasak kayu itu menembus jantungmu. Kamu membeku, melayang sebagai abu.
Aku bertanya kepadamu karena aku yang merasakan sakitnya, bukan dirimu.
Dear John,
Jika konsep hidup-mati dalam fiksi bisa disebut reinkarnasi, maka di sini aku akan memercayainya.
Aku melihat kalian lagi. Pada suatu malam di lembah Shire, Middle-earth, yang indah. Tentu aku tidak akan lupa, karena senyum-senyum itu masih sama.
Dilahirkan lagi sebagai saudara, John Porter, kamu sebagai paman dan raja. Dan, kau, John Mitchell, sebagai kemenakan dan pangeran muda. Bukan lagi desingan peluru yang perlu kalian lewati, bukan cemooh orang-orang yang harus kalian hadapi.
Naga.
Itu hal terbesar yang menghadang kalian. Sebagai paman, kau tak pernah setuju kemenakanmu untuk bergabung dalam perjalananmu kembali ke tanah kelahiran. Akan tetapi, entah bagaimana caranya sampai akhirnya kemenakanmu ikut serta.
Lagi, aku mengamati kalian berdua. Dari jauh.
Aku tahu. Aku tahu semua.
Kalian sampai di tanah yang kalian rindukan. Dengan emas dan permata yang bertumpuk-tumpuk menggiurkan hingga mengundang semua pihak, termasuk mereka yang gelap. Para penjahat itu mendatangi sampai ke tanah kalian, berusaha merebut harta itu.
Perang pun tak terelakkan. Desingan panah, tebasan pedang, sampai hantaman kapak bertalu-talu di lembah itu. Mengenai siapa saja tanpa ampun, tanpa peduli. Banyak yang jatuh dan gugur.
Kamu jatuh, tapi tidak gugur. Kemenakanmu datang melindungimu, tapi dia tak punya pelindung. Di hadapanmu, di depan matamu, kamu melihatnya jatuh. Selamanya.
Apakah itu menyakitkan?
Seperti yang aku bilang di awal tadi, setiap cerita harus bertemu akhirnya. Ceritamu selesai tak lama usai perang perakhir. Mereka menundamu pergi, untuk maaf yang belum sempat kauucapkan di medan perang.
Maaf dan penyesalan.
“There is more in you of good than you know, child of the kindly West. Some courage and some wisdom, blended in measure. If more of us valued food and cheer and song above hoarded gold, it would be a merrier world.”
Kelihatannya itu tidak menyakitkan. Kalian pergi, sebagai pahlawan, meninggalkan seorang adik dan sekaligus ibu dari kemenakanmu yang gugur, sendirian.
Dear John,
Setiap cerita harus berakhir. Begitu pula surat ini. Sampai jumpa. Di dunia fiksi, reinkarnasi itu ada.
Salam,
Yang melihatmu dari jauh.
Bogor, 4 Februari 2013
note: John Porter (Strike Back 2010-2011); John Mitchel (Being Human 2009-2011); Thorin Oakenshield & Kili (The Hobbit part 1,2,3 2012-2014)
Ditulis oleh : @adit_adit
Diambill dari http://aditiayudis.wordpress.com
No comments:
Post a Comment