Untuk pria berjaket hitam di tengah rintik hujan
Aku tidak tahu harus bilang apa lagi selain terima kasih dan maaf.
Kala itu, hujan masih cukup deras untuk bisa diterjang aku yang harus berjalan kaki tanpa payung. Malam sudah turun. Tidak ada lagi angkutan umum yang tersisa untuk membawaku pulang. Telepon genggamku kehabisan daya. Pacarku entah kemana. Ah, kadang semesta suka memainkan lelucon seperti ini, untuk melihat seberapa tahan kita menghadapi godaannya. Kalau ingin menuruti luapan emosi sesaat yang tolol, rasanya aku ingin menghentakkan kaki dan mencipratkan air dari kubangan di jalan kemana-mana sambil menyumpah. Untung akal sehatku masih ada. Daripada baju ikut basah terkena cipratan lumpur dan dianggap gila karena menyumpah-nyumpah sendiri oleh orang yang kebetulan mengintip dari jendela rumahnya, lebih baik aku menahan amarahku yang entah pada siapa.
Untungnya, setelah berjalan puluhan langkah dalam hujan, aku melihatmu dan temanmu. Ah, tukang ojek lah yang paling kubutuhkan di saat seperti ini. Dengan wajah cemberut akibat kekesalan yang terakumulasi dari sejak tadi, aku memanggilmu. Yang membuat kekesalanku semakin memuncak, kamu dan temanmu malah saling dorong untuk mengantarku pulang. Waktu itu aku bilang apa? Ah..ya,
“pak, mau duit ga sih? Cepet deh, saya nih udah capek, tau ga.”
Setelah itu kamu dan temanmu saling pandang, dan akhirnya kamulah yang mengalah. Bukankah saat itu kamu bilang,
“ya udah deh, saya aja yang nganter..”
Bila bukan karena tata krama, aku pasti sudah akan marah-marah padamu. Bayangkan saja, tukang ojek manapun seharusnya merasa ketiban durian runtuh di saat hujan dan sepi ternyata ada satu pelanggan. Mengapa kamu merasa ragu untuk mengantarku? Sepanjang perjalanan, kamu mencoba memancing percakapan denganku. Aku, yang kala itu sudah terlalu capek dan sedang tidak dalam mood untuk berbasa-basi dengan orang asing, benar-benar merasa terganggu. Aku hanya menjawab “ya” pendek untuk serangkaian pertanyaanmu. Malah kadang aku hanya diam menanggapi kelakarmu. Aku berharap untuk segera sampai rumah dan lepas dari tukang ojek ini.
Mungkin kamu akhirnya merasa bahwa aku terlalu capek dan terlalu kesal untuk mengobrol denganmu sehingga kamu menutup mulut sampai tiba di depan rumahku. Aku melompat turun dari belakang motor dan mengulurkan pecahan lima ribu dan dua ribu rupiah. Kamu pasti melihat raut wajahku yang terkejut bercampur malu, atau sorot mataku yang memohon maaf, atau tubuhku yang terlalu kaget untuk digerakkan, saat kamu dengan gaya santai membuka penutup helmmu dan tersenyum padaku sembari berkata,
“Jangan, mbak. Saya nganter mbak sekalian pulang, kok. Saya bukan tukang ojek.”
Terimalah rasa terima kasih dan maafku,
“Mbak” yang sampai sekarang tidak mau lagi menyetop ojek dari depan komplek rumah karena takut bertemu denganmu
oleh @sneaking_jeans
diambil dari http://menyingsingfajar.wordpress.com
Aku tidak tahu harus bilang apa lagi selain terima kasih dan maaf.
Kala itu, hujan masih cukup deras untuk bisa diterjang aku yang harus berjalan kaki tanpa payung. Malam sudah turun. Tidak ada lagi angkutan umum yang tersisa untuk membawaku pulang. Telepon genggamku kehabisan daya. Pacarku entah kemana. Ah, kadang semesta suka memainkan lelucon seperti ini, untuk melihat seberapa tahan kita menghadapi godaannya. Kalau ingin menuruti luapan emosi sesaat yang tolol, rasanya aku ingin menghentakkan kaki dan mencipratkan air dari kubangan di jalan kemana-mana sambil menyumpah. Untung akal sehatku masih ada. Daripada baju ikut basah terkena cipratan lumpur dan dianggap gila karena menyumpah-nyumpah sendiri oleh orang yang kebetulan mengintip dari jendela rumahnya, lebih baik aku menahan amarahku yang entah pada siapa.
Untungnya, setelah berjalan puluhan langkah dalam hujan, aku melihatmu dan temanmu. Ah, tukang ojek lah yang paling kubutuhkan di saat seperti ini. Dengan wajah cemberut akibat kekesalan yang terakumulasi dari sejak tadi, aku memanggilmu. Yang membuat kekesalanku semakin memuncak, kamu dan temanmu malah saling dorong untuk mengantarku pulang. Waktu itu aku bilang apa? Ah..ya,
“pak, mau duit ga sih? Cepet deh, saya nih udah capek, tau ga.”
Setelah itu kamu dan temanmu saling pandang, dan akhirnya kamulah yang mengalah. Bukankah saat itu kamu bilang,
“ya udah deh, saya aja yang nganter..”
Bila bukan karena tata krama, aku pasti sudah akan marah-marah padamu. Bayangkan saja, tukang ojek manapun seharusnya merasa ketiban durian runtuh di saat hujan dan sepi ternyata ada satu pelanggan. Mengapa kamu merasa ragu untuk mengantarku? Sepanjang perjalanan, kamu mencoba memancing percakapan denganku. Aku, yang kala itu sudah terlalu capek dan sedang tidak dalam mood untuk berbasa-basi dengan orang asing, benar-benar merasa terganggu. Aku hanya menjawab “ya” pendek untuk serangkaian pertanyaanmu. Malah kadang aku hanya diam menanggapi kelakarmu. Aku berharap untuk segera sampai rumah dan lepas dari tukang ojek ini.
Mungkin kamu akhirnya merasa bahwa aku terlalu capek dan terlalu kesal untuk mengobrol denganmu sehingga kamu menutup mulut sampai tiba di depan rumahku. Aku melompat turun dari belakang motor dan mengulurkan pecahan lima ribu dan dua ribu rupiah. Kamu pasti melihat raut wajahku yang terkejut bercampur malu, atau sorot mataku yang memohon maaf, atau tubuhku yang terlalu kaget untuk digerakkan, saat kamu dengan gaya santai membuka penutup helmmu dan tersenyum padaku sembari berkata,
“Jangan, mbak. Saya nganter mbak sekalian pulang, kok. Saya bukan tukang ojek.”
Terimalah rasa terima kasih dan maafku,
“Mbak” yang sampai sekarang tidak mau lagi menyetop ojek dari depan komplek rumah karena takut bertemu denganmu
oleh @sneaking_jeans
diambil dari http://menyingsingfajar.wordpress.com
No comments:
Post a Comment