08 February 2013

Are We Meant To be?


Hey.

Saat akan menulis ucapan pembuka ini, aku menyadari. Kita memiliki kesamaan, tak pintar memulai kata. Rasanya tak pernah ada seucap Hallo dariku, atau apa kabar darimu. Terakhir kali bertemu kita hanya terkelu, terpisah meja. Lantas bertanya, “Bagaimana kabar pacarmu?”

Detik itu kamu hanya menjawab sekenanya, dan celoteh merambat. Selepasnya aku lengah, aku berbicara pada lelaki berkekasih.

Sama halnya dengan kita terlampau tolol untuk mengerti bagaimana cara melambai dan berdesis selamat tinggal. Alih-alih melakukannya dengan pelukan hangat ataupun saling mendoakan, kita lebih memilih untuk diam-diam melenyap.

Hey.

Aku lupa, apakah aku pernah bertanya hal ini padamu. Are we meant to be?

Hal ini terkadang berceracau sebelum aku lelap. Atau setelah aku membuka kembali tulisan-tulisanmu dulu. Atau setelah aku membaca suratmu lima tahun silam. Atau setelah… aku gagal mengenyahkanmu.

Aku pernah membaca, jika aku mencintai sesuatu, maka lepaskanlah. Jika dia kembali, maka itu memang milikmu.

Sejatinya aku membaca itu setelah kita melalui masa sulit, setelah kita menyerah. Setelah kita memutuskan untuk saling melepaskan genggaman. Setelah aku hilang asa. Saat itu, aku tak memikirkannya. Pikirkan, bagaimana bisa aku melepaskan sesuatu yang aku cintai? Ungkapan bodoh.

Semesta mungkin berkonspirasi. Mungkin mereka mengerti bahwa di atas apapun, aku membutuhkanmu. Kamu kembali untuk ke sekian kalinya, seakan menegaskan, bahwa genggaman tangan kita bak magnet berlawanan kutub. Saling menarik. Saling mencari dan berputar, hanya untuk kemudian saling melekat.

Kamu memberi semu yang legit. Aku terlena pada setiap gigit. Aku mencoba pikun, bahwa sesuatu yang indah tak pernah berlangsung lama. Bahwa kamu tak pernah mencoba untuk keluar dari zona nyamanmu. Kamu tak akan pernah berani mengambil keputusan yang mengubah hidupmu. Such a coward, kamu memilih untuk bertahan pada cara yang sama, melepas genggamanku yang tak henti kamu rongrong, untuk kembali pada cumbuannya yang hambar.

Maka ketika aku membiarkanmu pergi, aku setengah berharap, kamu kembali. Sesuatu yang membuatmu pergi, pada waktunya akan membuatmu kembali.

Dan aku mencoba yakin.

.

.

Hey, kamu tidak berpikir bahwa surat ini akan berhenti sampai di sini kan? Pada kalimat aku akan separuh memohon padamu untuk mengaitkan jemarimu di sela tanganku.

.

.

.

.

Karena tentu saja tidak.

Karena aku tidak lagi membutuhkan ungkapan picisan seperti itu. Lebih jauh, aku tidak membutuhkanmu untuk menggenapkan jari-jariku, untuk menyempurnakan detakku.

Karena aku sadar aku layak dicintai oleh orang yang lebih baik. Yang sanggup keluar dari cangkangnya yang hangat, untuk bersamaku di udara yang lembab. Yang akan selalu memilihku kala dibimbangkan pilihan. Yang tidak akan melepaskanku.

Karena aku layak mencintai orang yang mencintai diriku.

Hanya diriku, tak terbagi.


Oleh @adiezrindra Sumber: http://dandelionotes.wordpress.com

No comments:

Post a Comment